Liputan6.com, Jakarta - Selama menjabat sebagai Wali Kota Surabaya dalam dua periode, Tri Rismaharini (Risma) telah beberapa kali menutup lokasi prostitusi di Kota Pahlawan. Penutupan itu tak berjalan mudah dan sempat menuai banyak protes dari berbagai pihak.
Sebelumnya, Risma telah berhasil menutup lokalisasi di Dupak Bangunsari dan Tambaksari. Tak hanya itu, lokalisasi di Moroseneng dan Klakah Rejo, Surabaya juga berhasil Risma tutup.
Penutupan kedua lokasi ini dilakukan secara simbolis yaitu dengan menggelar sebuah acara pengajian. Sebelumnya, penutupan lokasi prostitusi ini diwarnai aksi protes dari banyak pihak.
Advertisement
Baca Juga
Berikut rangkuman cerita penutupan lokalisasi Moroseneng dan Klakah Rejo yang Liputan6.com rangkum dari Kisah, Perjuangan, dan Inspirasi Tri Rismaharini karya Ervina Pitasari:
Penutupan Moroseneng dan Klakah Rejo
Kedua eks lokasi prostitusi ini berada di Surabaya Barat. Penutupan lokalisasi Moroseneng dan Klakah Rejo dilakukan secara simbolis dengan menggelar pengajian pada 22 Desember 2013. Penutupan kedua lokasi ini berlangsung tidak mudah.
Kala itu, kedua area prostitusi tersebut menampung 400 PSK, 33 wisma dan 90 muncikari. Ratusan PSK dan muncikari sempat melakukan unjuk rasa pada 25 Agustus 2013. Mereka membawa spanduk dan plakat yang berisi cacian pada Risma sebagai bentuk penolakan rencana penutupan area lokalisasi.
Amarah demonstran ini memuncak karena terdapat papan resmi penutupan lokalisasi yang dipersiapkan oleh Dinas Sosial Kota Surabaya. Papan tersebut dipasang oleh Risma dan aparat gabungan.
Selain itu, amarah juga bermula dari pendataan yang dilakukan Ketua RW dan paguyuban setempat di beberapa waktu sebelumnya. Informasi yang PSK dan muncikari terima, pendataan tersebut hanya untuk mencatat jumlah wisma baru dan PSK di sana. Mereka pun dengan sukarela membubuhkan tanda tangan.
Ternyata data tersebut diubah menjadi tanda menyetujui penutupan lokalisasi di wilayah Klakah Rejo Surabaya yang akan dilaporkan ke Pemkot. Mengetahui hal ini, PSK dan muncikari menjadi emosi.
Tak hanya PSK dan muncikari, warga juga turut melakukan protes. Hal ini disebabkan, banyak warga yang “terciprat” keuntungan dari lokalisasi di sana. Mereka mengkhawatirkan masa depan usahanya apabila area prostitusi tersebut ditutup. Selain itu, berbagai pihak seperti pedagan, tokoh masyarakat dan pengamen juga menilai aksi yang dilakukan Ketua RW dan paguyuban tersebut tidaklah etis.
Akhirnya, Risma terus menerus melakukan usaha agar lokasi tersebut tetap ditutup. Ia bekerja sama dengan berbagai pihak, pihak pemerintah dan warga untuk mencapai kesepakatan. Hingga akhirnya pada 22 Desember 2013 lokalisasi ini resmi ditutup.
*** Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Kisah Pascapenutupan
Seperti penutupan lokalisasi sebelumnya, Pemkot memberikan uang ganti rugi untuk para PSK dan muncikari yang kehilangan pekerjaan. Untuk muncikari, Pemkot memberikan Rp 5 juta dan Rp 2,5 juta untuk PSK.
Pelatihan keterampilan juga diberikan untuk para PSK selama satu pekan. Disamping itu, terdapat 95 orang PSK yang dipulangkan, beberapa di antaranya berasal dari Surabaya.
Walau sudah resmi ditutup, pemantauan terhadap lokasi tersebut tetap dilakukan. Wisma-wisma di Klakah Rejo ditemukan berganti menjadi tempat karoke dengan pendamping perempuan. Walau begitu, kebanyakan dari mereka sudah tidak melayani kebutuhan ranjang.
Hal berbeda dengan wilayah Moroseneng. Masih terdapat wisma yang berani aktif beroprasi yang terletak menjorok di beberapa gang. Wisma tersebut akan tutup sejenak bila terdapat aparat petugas yang datang.
(Kezia Priscilla, mahasiswi UMN)
Advertisement