MUI Jatim Klarifikasi Imbauan Larangan Ucapan Selamat Natal, Ini Penjelasannya

Sekretaris MUI Jatim, Mochammad Yunus menuturkan, toleransi itu saling menghormati, menghargai dalam perbedaan masing-masing agama yang dipahami dengan baik.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 23 Des 2019, 17:54 WIB
Diterbitkan 23 Des 2019, 17:54 WIB
(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
MUI Jatim (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur (Jatim) mengklarifikasi mengenai imbauan kepada seluruh masyarakat terutama umat Muslim untuk tidak mengucapkan selamat bagi mereka yang merayakan Natal.

"Sampai saat ini MUI secara resmi tidak pernah mengeluarkan larangan tersebut," tutur Sekretaris MUI Jatim, Mochammad Yunus kepada Liputan6.com melalui pesan singkat, Senin (23/12/2019).

Pada saat wawancara dengan wartawan akhir pekan lalu di kantornya, Mochammad Yunus mendapatkan pertanyaan menjelang perayaan Natal selalu ada ormas Muslim yang melakukan sweeping?

Mochammad Yunus menjawab, kalau misalnya memaknai toleransi secara benar, tidak akan mungkin ada aksi sweeping.

"Toleransi itu saling menghormati, saling menghargai, saling menyepakati dalam perbedaan masing-masing agama. Kalau toleransi ini dipahami dengan baik maka tidak akan ada orang Muslim yang dipaksa menggunakan atribut keagamaan non-muslim," kata dia.

Dia mencontohkan, misalnya ada wanita berjilbab kemudian disuruh menggunakan topi Sinterklas, atas nama toleransi. "Itu toleransi yang keliru karena toleransi itu setuju dan sepakat di dalam perbedaan masing-masing agama," ucap dia.

Dia menyampaikan, ketika orang muslim tidak mengucapkan selamat Hari Natal, tidak menggunakan atribut perayaan, itu bukan disebut intoleran.

"Kalau ini dipahami dengan baik maka tidak akan muncul kelompok - kelompok tersebut yang melakukan aksi sweeping. Karena ini masuk wilayah yang tidak perlu di toleransi, karena sudah masuk di dalam wilayah akidah," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

Masuk Wilayah Akidah

MUI Majelis Ulama Indonesia
Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Dia menjelaskan, peringatan Natal itu masuk ke dalam wilayah-wilayah ritualitas agama, yang tidak masuk wilayah yang di toleransikan. Kalau misalkan agama, umat Islam punya yang namanya lakum dinukum waliadin (agamaku, agamaku, agamamu, agamamu).

"Kalau persoalan sosial dan masalah yang lain itu boleh di toleransi. Tapi kalau persoalan akidah tidak boleh dipaksakan. Kalau itu dipahami dengan baik maka tidak akan dijumpai anak-anak yang beragama berbeda dengan peringatan hari besar agama itu menggunakan atribut mereka tidak dijumpai maka tidak akan dijumpai aksi sweeping tersebut," tutur dia.

Saat disinggung mengenai umat Muslim tidak perlu mengucapkan selamat Natal? Mochammad Yunus menjawab, itu sudah masuk ke dalam wilayah akidah.

Mochammad Yunus menjelaskan, ketika mengucapkan selamat kepada peringatan itu, yang di dalam akidah Islam sudah jelas bahwa Allah itu Maha Esa, Satu, Tunggal, tidak beranak dan tidak diperanakan, bukan bapak dan bukan anak. Peringatan Natal itu adalah peringatan hari kelahirannya anaknya Tuhan, itu kan masuk ke dalam wilayah akidah.

"Itu yang kemudian tidak boleh. Sehingga kemudian ketika mengucapkan selamat Hari Natal itu berpotensi merusak akidahnya. Itu yang perlu dipahami sehingga kemudian tidak boleh orang memaksakan atau meminta agar orang muslim mengucapkan selamat Hari Natal dan mengikuti ritual perayaan Natal," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya