Pesan Harmonisasi dalam Lontong Capgomeh

Merayakan capgomeh dengan lontong capgomeh dan ronde.

oleh Agustina Melani diperbarui 08 Feb 2020, 10:24 WIB
Diterbitkan 08 Feb 2020, 10:24 WIB
cap go meh
Tampilan [Lontong](2680027 "") [Cap Go Meh](2849268 ""), tak beda jauh dengan lontong opor. (foto : liputan6.com / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Jakarta - Perayaan Capgomeh kini dirayakan meriah. Perayaan dilakukan setelah Imlek, atau tepatnya pada hari ke-15 atau hari terakhir bulan pertama menurut kalender China.

Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa Jawa Timur, Gatot S.Santoso menuturkan, perayaan capgomeh kini dirayakan komunitas-komunitas tidak hanya oleh masyarakat Tionghoa saja.   Perayaan capgomeh juga meriah, seperti halnya dengan Imlek. Adapun perayaan capgomeh ini menutup serangkaian acara Imlek. 

"Di Tionghoa, jadi petani kembali kerja di sawah karena musim semi cocok untuk kerja. Capgomeh ini sebagai penutup rangkaian acara Imlek. Perayaan Imlek sendiri dimulai seminggu sebelum Imlek,” ujar Gatot saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (8/2/2020).

Nah, perayaan capgomeh ini juga tak lengkap dengan lontong capgomeh. Lontong capgomeh termasuk salah satu akulturasi budaya yang terjadi di Indonesia. Gatot mengatakan, lontong capgomeh merupakan akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa. Lontong capgomeh terdiri dari menu lontong, ayam, rebung, bumbu kare, dan lainnya. Hal ini menujukkan pesan mengenai keragaman membuat harmonisasi dalam kehidupan.

"Banyak ragam bumbu menunjukkan berbeda-beda tetapi bisa jadi satu dalam kuliner. (Perbedaan-red) malah memperat dan harmonisasi dalam kultur. Demikian kehidupan memang seperti itu. Meski berbagai aliran, golongan, bisa harmonis. Itu paling indah dan enak rasanya,” ujar Gatot.

Dosen Arsitektur dan Interior Fakultas Industri Kreatif, Universitas Ciputra Surabaya, Freddy Istanto mengatakan, lontong capgomeh mengekspresikan kekayaan budaya peranakan di Indonesia. Perpaduan dua budaya Tionghoa dan Jawa melahirkan budaya peranakan. "Di China tidak ada kuliner lontong, di Indonesia tidak ada capgomeh. Perpaduan dua budaya China dan Jawa/lokal melahirkan budaya yang anggun dan keren," ujar dia.

Selain lontong capgomeh, ada juga makanan yang identik dengan perayaan capgomeh yaitu ronde. Gatot mengatakan, ronde ini juga disajikan untuk persembahan sembahyang. Ronde menunjukkan kehidupan yang manis. “Orang Tionghoa ingin hidup yang manis, banyak rezeki, dan kesehatan,” kata Gatot.

Saat perayaan capgomeh ini, Gatot pun mengharapkan akulturasi kebudayaan yang terjadi terus mempererat persaudaraan Bangsa Indonesia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Perayaan Capgomeh Simbol Kekayaan Budaya Peranakan

Sementara itu,  Freddy menuturkan, perayaan Capgomeh sebagai simbol kekayaan budaya peranakan. Budaya peranakan lebih ke arah budaya ketimbang genetik.

Lintas budaya ini melahirkan sub-kultur budaya baru yang melahirkan kekayaan dan keragaman dalam budaya nusantara. Ini terlihat dari arsitektur, perabotan, keramik, batik, busana, musik, film, sastra, lukisan, kuliner, sistem ekonomi dan lainnya.

"Kecap manis itu tidak ada di China, aslinya mereka membawa kecap asin. Mereka membawa jaoto, lalu jadi soto. Bakmi, bakwan, lumpian, siomay, bakpia, bakwan, lumpia, siomay, bektim, kacang kua, roden, sup merah, bloeder ketika ketemu Belanda. Kalau mau disebut satu-satu banyak ragamnya. Termasuk motif batik yang banyak diwarnai pengaruh China," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya