Pentingnya Pembentukan Karakter pada Anak untuk Cegah Gangster

Psikolog UNTAG Surabaya menjelaskan pentingnya pembentukan karakter pada anak. Begini penjelasannya.

oleh Liputan Enam diperbarui 14 Feb 2020, 02:00 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2020, 02:00 WIB
Hari Anak Nasional: Belajar Jadi Ibu yang Pengertian
Peringati Hari Anak Nasional dengan mencoba belajar jadi ibu yang pengertian melalui pola asuh mindful parenting. (Ilustrasi: Pexels.com/Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Surabaya  sempat diresahkan dengan ada gangster. Gangster tersebut beranggotakan remaja di bawah umur, bahkan ada yang masih terbilang anak-anak.

Padahal, masa anak-anak adalah proses perkembangan menuju pembentukan karakter. Oleh karena itu, masa anak-anak sangat perlu diperhatikan karena akan membentuk sifat dari anak tersebut.

Dengan maraknya fenomena gangster anak-anak di Surabaya ini, Dosen Psikologi Universitas 17 Agustus Surabaya, Karolin Rista Rumandj mengingatkan, betapa pentingnya pendidikan karakter yang baik dan benar diterapkan sejak dini.

Dosen Psikologi Universitas 17 Agustus (UNTAG) Surabaya, Karolin Rista Rumandjo mengatakan, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi anak dalam berperilaku di antaranya adalah orangtua, pendidikan, dan lingkungan.

"Kita masih sering melihat anak yang smart, anak yang bijak, anak yang baik, itu anak yang tidak melawan orangtua, tidak melawan guru, tidak tau membantah, nilai-nilainya bagus. Kita hampir selalu menciptakan figur-figur ideal buat anak. Padahal, inilah yang menjadi permasalahan tersendiri buat anak-anak karena tidak semua anak berada dalam posisi ideal itu," kata Karolin kepada Liputan6.com pada Rabu, 12 Februari 2020.

Karolin mengatakan, banyak figur ideal yang tercipta dari stigma-stigma orang tua dan lingkungan masyarakat itu sendiri. Contohnya adalah membandingkan anak dengan anak yang lainnya seperti dalam hal prestasi, sifat, dan yang lainnya.

"Padahal yang diperlukan sekali adalah pendidikan karakter, bukan membandingkan anak-anak tersebut, bukan membuat figur-figur ideal yang tidak semua anak mampu mencapai itu. ‘Kamu kok nilai matematikamu tidak begitu bagus?’ Padahal tidak semua anak punya kemampuan mencapai nilai matematika sebagus itu," tutur dia.

Ia juga mengatakan, harus diakui tidak semua anak dapat menguasai suatu mata pelajaran tertentu seperti matematika dengan baik. Ini karena ada kemungkinan prestasi anak tersebut menonjol di bidang lain.

"Sekali lagi bukan maksud merendahkan semua mata pelajaran, tapi memang harus diakui tidak semua anak membutuhkan matematika ketika nantinya dia berkarier di bidang yang tidak seperti itu. Bidang seni misalnya, itu pengembangan diri yang berbeda," tutur dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Pendidikan Karakter Masih PR

Ilustrasi Polah Asuh Anak 3
Ilustrasi Pola Asuh Anak

Pendidikan karakter masih menjadi PR bagi negara di Asia seperti Indonesia karena ada stigma berupa figur-figur ideal yang dimunculkan oleh lingkungan sekitar anak seperti orangtua dan masyarakat yang berdampak pada pembentukan karakter anak.

Salah satu figur ideal yang biasa ditemukan adalah anak yang tidak berprestasi akademik dianggap tidak pintar, dan anak yang tidak manut atau tidak menurut dianggap pembangkang.

"Padahal tidak semua konfrontasi dari anak-anak itu artinya membangkang. Pada anak-anak yang memiliki ide yang banyak atau anak-anak yang punya tingkat pmikiran yang lebih dari teman-teman yang lainnya, kadang-kadang misalnya dia dibilang ‘Kamu ke sekolah harus bangun jam sekian,” padahal dia punya cara berpikir tertentu yang kadang-kadang memang terkesan membangkang, tapi dia punya problem solving yang dia miliki sendiri," kata Karolin.

Fenomena gangster anak-anak ini, menurut Karolin, tidak bisa menyalahkan satu pihak karena semua pihak bertanggung jawab atas pembentukan karakter anak tersebut.

Kemudian konsep-konsep ideal yang tidak sesuai dengan pengembangan karakter, atau tidak menjungjung, tidak mengedepankan pengembangan karakter ini menjadi masalah tersendiri dalam proses karakter seorang anak.

"Ketika nilai matematikanya dapat 10, ia dipuji setengah mati, dia di agung-agungkan sama orang tuanya. Padahal ketika dia berlaku jujur, dia tidak mendapat pujian yang sama. Ketika dia mencoba menjadi anak yang mengenalkan pribadinya, ketika konsep dia dan konsep lingkungan tidak sama, dia kena protes," ujar dia.

Ia menambahkan, sifat-sifat protes atau uji coba untuk protes inilah yang muncul dalam berbagai perilaku dan kemudian menjadi karakter dari anak tersebut.

 

(Shafa Tasha Fadhila - Mahasiswa PNJ)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya