Berjuang 4 Tahun, PMI Asal Nganjuk Bebas dari Tuntutan Pencurian di Singapura 

Pengadilan Singapura memenangkan Parti Liyani, seorang pekerja migran Indonesia (PMI) di Singapura asal Nganjuk, Jawa Timur.

oleh Liputan Enam diperbarui 07 Sep 2020, 23:31 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2020, 23:29 WIB
Ilustrasi Singapura
Ilustrasi Singapura (AP/Wong Maye-E)

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Singapura memenangkan Parti Liyani, seorang pekerja migran Indonesia (PMI) di Singapura asal Nganjuk, Jawa Timur. Dalam sidang pada 4 September 2020, Yani dibebaskan dari empat tuntutan yang dituduhkan kepadanya.

Dia berhasil membuktikan keyakinannya bahwa dia tidak melakukan pencurian seperti yang dituduhkan oleh mantan majikannya. Menunggu keputusan ini, Yani hampir empat tahun harus berada di Singapura untuk menjalani proses hukum melawan mantan majikannya.

Yani dibantu HOME, sebuah NGO yang peduli dan membantu pekerja migran bermasalah di Singapura. HOME juga memberikan bantuan hukum dengan menggandeng MR Anil Narain Balchandani, pro-bono lawyer yang mendampingi Yani di pengadilan.

MR Anil menyatakan masih akan fokus pada pembebasan Yani dari semua tuntutan. "Karena masih ada tutuntan kelima yang dulu ditunda sejak sidang pertama karena barang bukti dan pembuktiannya masih diragukan. "Pengadilan memberikan waktu satu bulan untuk menentukan," katanya dalam keterangan teertulis.

Proses kasus ini berawal dari ditangkapnya Yani pada 2 Desember 2016 di Bandara Changi Singapura. Ketika itu Yani ingin kembali bekerja di Singapura setelah beberapa bulan berada di Indonesia. Penangkapan itu seiring laporan dari mantan majikannya yang menuduh Yani telah melakukan pencurian barang-barang milik majikannya. Investigasi dimulai pada 3 Desember 2016. Mulai saat itu Yani tinggal di HOME Shelter.

Yani telah bekerja sejak 2007 hingga 2016 di sebuah keluarga. Selama dia bekerja, hubungan antara Yani dan keluarga majikannya pun baik-baik saja .

Hingga pada satu hari di bulan Oktober 2016, dia tiba-tiba dipulangkan ke Indonesia dan hanya diberi waktu dua jama untuk berkemas. Yani pun mengatakan ingin melaporkan hal itu ke MOM (Kementerian Tenaga Kerja Singapura).

Hal ini belakangan diyakini karena Yani diminta untuk membersihkan rumah dan kantor MR Karl Liew, yang merupakan anak dari majikan Yani. Sesuai peraturan di Singapura , PRT migran hanya boleh bekerja pada alamat yang tertera dalam work permit.

Yani meminta Mr Karl, majikannya, untuk mengirimkan barang-barang yang sudah dikemas ke dalam boks karena Yani tidak punya cukup waktu untuk melakukannya. Namun barang-barang tersebut tidak pernah dikirimkan ke Indonesia seperti permintaan Yani.

Pada sidang sebelumnya Maret 2019, Yani dinyatakan bersalah dengan hukuman 26 bulan penjara. Yani, HOME, dan tim pengacara mengajukan banding. HOME membayar uang jaminan sehingga Yani bisa tetap tinggal di shelter dan tidak dikurung dalam tahanan.

Sementara Yani ketika ditanya mengatakan dia sudah memaafkan mantan majikannya. Namun dia berpesan agar tidak lagi melakukan hal yang sama kepada orang lain. Himbauan ini juga berlaku kepada majikan-majikan yang lain secara umum .

Yani juga mengatakan keinginannya untuk pulang ke Indonesia bila semua urusannya selesai. Dia juga tidak ada keinginan untuk bekerja lagi di Singapura .

Case Worker Director HOME MS Anil Jaya Kumar mengungkapkan tentang kesulitan yang dihadapi pekerja migran yang tersandung kasus hukum karena tuduhan yang tidak di lakukannya. Seperti Yani yang harus melewati masa hampir empat tahun dan tidak diizinkan untuk bekerja.

Penulis: Novia Arluma, PMI di Singapura asal Lumajang, Jawa Timur

Saksikan Video Pilihan Ini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya