8 Fakta Menarik di Balik Hari Pahlawan 10 November

Kematian Mallaby bisa disebut sebagai pemicu terbesar pertempuran 10 November. Namun, banyak peristiwa lain yang memicu terjadi pertempuran tersebut.

oleh Erik diperbarui 11 Nov 2020, 14:00 WIB
Diterbitkan 01 Nov 2020, 06:00 WIB
(Foto: Dok Humas Pemkot Surabaya)
Tugu Pahlawan Merah Putih di Surabaya, Jawa Timur. (Foto: Dok Humas Pemkot Surabaya)

Liputan6.com, Jakarta - Pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945 merupakan hari bersejarah bagi rakyat Indonesia. Pertempuan tersebut kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.

Penetapan Hari Pahlawan 10 November itu tertulis dalam surat Keputusan Presiden (Keppres) No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 yang ditandatangani oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno.

Tanggal 9 November pada 1945, Mayor Jenderal EC Mansergh mengeluarkan ultimatum kepada warga Surabaya agar menyerahkan senjata tanpa syarat. Namun, ultimatum itu tak diindahkan.

Keputusan Mayjen EC Mansergh itu didasari sejumlah peristiwa yang menimpa atasnya pada 30 Oktober sebelumnya, yaitu kematian Brigjen Mallaby di Jembatan Merah Surabaya.

Brigjen Mallaby tewas mengenaskan. Hingga kini, belum ada kepastian siapa sebenarnya sosok di balik kematian yang diduga sebagai pemicu pertempuran 10 November di Surabaya.

Mayjen EC Mansergh adalah pengganti Brigjen Mallaby. Tugasnya meneruskan misi Mallaby yang merupakan bagian dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) untuk melucuti senjata pasukan Jepang di Indonesia.

Kematian Mallaby bisa disebut sebagai pemicu terbesar pertempuran 10 November. Namun, banyak juga peristiwa lain yang memicu terjadi pertempuran tersebut.

Salah satu versi yang jarang diungkap adalah keterlibatan kaum santri yang bersedia mati membela negara karena terbakar semangat oleh Resolusi Jihad yang diminta Soekarno kepada KH Hasyim Asy’ari.

Hal senada juga dilakukan Mayor Jenderal TKR Mustopo, sebagai komandan sektor perlawanan Surabaya pada waktu itu, bersama Sungkono, Bung Tomo, dan tokoh-tokoh Jawa Timur menghadap KH Hasyim Asyari untuk meminta fatwa, dikutip dari nu.or.id.

Hingga kini, Hari Pahlawan terus diperingati sebagai hari besar bagi perjalanan panjang sejarah Indonesia. Setiap tahun, ada nuansa perjuangan baru yang dialami arek-arek Suroboyo jika dulu melawan musuh kasat mata, kini mereka melawan musuh tak kasat mata, COVID-19.

 

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Menarik Berikut Ini

8 Fakta Menarik Hari Pahlawan 10 November

Brigjen Mallaby
Seorang tentara Inggris memeriksa bangkai mobil Brigjen Mallaby yang tewas pada 30 Oktober 1945 di Surabaya. (Istimewa)

1. Hanya Berniat Mengangkut Pasukan Jepang

Kabar yang diterima Menteri Penerangan saat itu, Amir Syarifuddin berbeda dengan kenyataan di lapangan. Dirinya menginfokan kedatangan tentara sekutu ke Surabaya hanya untuk mengangkut orang Jepang yang masih tersisa.

Amir Syarifuddin berpesan agar pemerintah daerah di Surabaya menerima niat baik dan membantu tugas tentara sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) itu.

Akan tetapi, rakyat Surabaya tidak percaya begitu saja mengenai yang diinformasikan Amir Syarifuddin. Bung Tomo termasuk orang pertama yang tidak percaya terhadap apa yang disampaikan oleh pemerintah pusat melalui Amir Syarifuddin.

2. Ajak Berunding

Menjelang kedatangan tentara Inggris di Surabaya, Drg Moesopo yang pada saat telah mengangkat diri menjadi Menteri Pertahanan RI, mengajak kepada seluruh rakyat Surabaya untuk bersiap-siap perang dengan pasukan Inggris.

Namun, ternyata tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda.

NICA ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan itu. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

Tak lama berselang setelah kapal Inggris merapat di Tanjung Perak, Surabaya, dua orang perwira staf Mallaby (Komandan Kerajaan Inggris) menemui Gubernur Soerjo.

3. Menduduki Banyak Tempat Strategis

Dalam perundingan antara sekutu dan Indonesia, pada 26 Oktober di Gedung Kayoon, menghasilkan kesepakatan, di antaranya pasukan sekutu hanya akan melucuti senjata Jepang saja.

Nyatanya, Inggris juga menduduki sejumlah tempat strategis di luar perjanjian. Misalkan di lapangan terbang Tanjung Perak, perusahaan listrik Gemblongan, kantor pos besar dan gedung studio radio di Simpangan.

Tindakan Inggris itu dianggap kurang ajar oleh Bung Tomo karena tidak sesuai perjanjian.

 

4. Inggris Menyerbu Penjara

Brigjen Mallaby
Brigjen Mallaby dari Sekutu bersama Dr Soegiri sebagai wakil rakyat Indonesia. (Istimewa)

Pasukan Inggris juga menyerbu penjara Kalisosok dan membebaskan orang Belanda yang sempat ditawan pejuang kemerdekaan.

Tentara Inggris mulai menunjukkan ketidakpatuhan pada perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

Pada 27 Oktober, menuntut dan mengancam semua rakyat Surabaya agar menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan perang kepada Inggris.

5. Tewasnya Brigjen Mallaby

Pada 30 Oktober 1945 menjadi hari naas bagi Brigjen Mallaby. Saat dirinya hendak melintas Jembatan Merah, sejumlah milisi Indonesia mencegat mobilnya.

Di situ, terjadilah baku-tembak dari kedua belah pihak. Brigjen Mallaby pun tewas di tempat. Kematian itu diduga sebagai pemicu pertempuran yang terjadi 11 hari setelahnya.

Insiden itu memaksa Letnan Jenderal Christianson, komandan pasukan sekutu di AFNEI memberikan peringatan keras terhadap Indonesia, terutama pejuang yang ada di Surabaya.

Letnan Jenderal Christinson mengirimkan seluruh divisi infanteri ke-5 lengkap dengan peralatan tank ke Surabaya, pihaknya siap menyerang Surabaya dari darat, laut dan udara.

6. Respons Jakarta Pasif

Suasana Surabaya makin mencekam. Para pemimpin di Surabaya, termasuk Bung Tomo pun kemudian menghubungi Jakarta untuk meminta petunjuk.

Namun, Presiden Soekarno dan Menteri Luar Negeri Soebardjo menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada rakyat Surabaya. Saat itu, Gubernur Jawa Timur pertama yaitu Gubernur Suryo mengambil keputusan untuk menolak ultimatum tentara sekutu.

Bung Tomo, pimpinan BPRI, pun tak ada pilihan kecuali bertempur. Dirinya lantas membangkitkan semangat seluruh rakyat Surabaya untuk melawan tentara sekutu yaitu pasukan Inggris dan NICA.

Bung Tomo mengajak semua elemen di Surabaya untuk menyatukan tekad bulat. Oleh karena itu, pada jam 6 sore, elemen TKR dan pemuda teken “Soempah Kebulatan Tekad” .

 

7. Petikan Pidato Bung Tomo Membakar Semangat Arek-arek Surabaya

[Bintang] Meninggal Dunia, Istri Bung Tomo Dimakamkan di Sebelah Sang Suami
Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo yang meninggal Rabu (31/8) dini hari di RSPAD Gatot Subroto. (Via: instagram.com/koransumeks)

Beberapa petikan pidato Bung Tomo yang membakar semangat rakyat Surabaya.

“Inilah jawaban kita, jawaban pemuda-pemuda rakyat Indonesia. Hai Inggris, selama banteng-banteng, pemuda-pemuda Indonesai masih mempunyai darah merah yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu kita tidak akan menyerah.”

“Teman-temanku seperjuangan, terutama pemuda-pemuda Indonesia, kita terus berjuang, kita usir kaum penjajah dari bumi kita Indonesia yang kita cintai ini. Sudah lama kita menderita, diperas, diinjak-injak,”

8. Libatkan Rakyat Surabaya

Pertempuran 10 November merupakan pertempuran yang sangat besar karena tidak hanya melibatkan unusr pasukan bersenjata saja, melainkan juga segenap warga Surabaya.

Sejarawan Universitas Airlangga, Purnawan Basundono mengatakan bahwa rakyat Surabaya hanya bermodalkan senjata minim dengan berani bersama tentara melawan tentara sekutu dan Belanda.

"Masyarakat Surabaya selalu terkenang itu (Pertempuran 10 November). Sebelum ditetapkan Hari Pahlawan, pada 10 November ada arak-arakan. Presiden Sukarno pun menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya