Liputan6.com, Surabaya - Virus Nipah merupakan virus yang kali pertama ditemukan di Malaysia pada 1999. Bahkan virus ini sempat menyebabkan wabah pada kalangan peternak babi di sana pada tahun yang sama. Wabah yang terjadi di Malaysia juga berdampak pada Singapura. Penularan virus disebabkan kontak langsung manusia dengan babi sakit atau jaringan yang terkontaminasi.
“Virus nipah ini berpotensi menjadi pandemi kedua. Karena sifat virus dan cara penularannya mirip dengan SARS-CoV-2,” ujar Agung Dwi Wahyu Widodo, dosen Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat (5/2/2021).
Gejala yang ditimbulkan menyerupai influenza seperti badan meriang, demam, hingga otot-otot terasa nyeri. World Health Organization (WHO) dalam situsnya menyebutkan bahwa tingkat kematian pada virus ini diperkirakan mencapai 75 persen.
Advertisement
Ada beberapa hal yang mengakibatkan tingkat kematiannya mencapai 75 persen. Pertama, penanganan yang kurang komperhensif. Kedua, gejala yang tidak umum dan kejadian yang terjadi sangat cepat. Ketiga, belum ditemukannya vaksin atau obat untuk virus nipah ini.
“Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk virus ini. Pengobatannya hanya penatalaksanaan suportif saja agar penderita bisa bertahan hidup. Vaksin untuk virus ini juga belum ditemukan. Sehingga pencegahannya bisa terlambat,” imbuhnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Sudah Ada Penularan
Virus ini berpotensi menjadi pandemi karena sudah ada penularan dari manusia ke manusia. WHO mencatat pada 2001, wabah virus Nipah terjadi di di Siliguri, India. Penularan virus itu terjadi pada layanan kesehatan. Sebanyak 75 persen kasus di antaranya terjadi pada staf rumah sakit serta pengunjung.
“Pandemi bisa terjadi karena meski diakibatkan oleh kelelawar buah, tapi sudah terjadi penularan dari orang ke orang. Masa inkubasinya juga mirip dengan SARS-CoV-2, yaitu sekitar 5 sampai 14 hari,” tutup Dewan Pakar Satgas Covid-19 IDI Jawa Timur itu.
Advertisement