Pengamat Unair: Peluang Amandemen untuk Jabatan Presiden 3 Kali Sangat Besar

Oleh karena itu, dia menyampaikan harus ada waspada publik berupa kritik, diskusi, antitesis untuk menimbang wacana tersebut.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 19 Mar 2021, 14:28 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2021, 14:28 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi)
Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Biro Pers Sekretariat Presiden/Rusman)

Liputan6.com, Surabaya - Pakar hukum tata negara dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Radian Salman angkat bicara terkait wacana presiden tiga periode. Menurutnya, ada dua hal yang perlu digarisbawahi mengenai wacana tersebut.

Pertama, pemerintah perlu belajar atau bercermin pada sejarah masa lampau. Secara historis, pihaknya menuturkan bahwa pembatasan jabatan presiden dua periode ditetapkan karena Undang-Undang (UU) sebelumnya tidak pernah secara tegas memberikan batasan periode waktu.

Selain itu, dengan berkaca pada hukum alam, menurutnya semakin lama dan semakin besar kekuasaan, maka kekuasaan itu memiliki peluang besar untuk cenderung menyimpang dan absolut. 

“Alasan kenapa ada pembatasan masa jabatan adalah supaya pemerintah bisa memaksimalkan jabatan yang dipegang sebaik mungkin sesuai jatah waktunya. Karena kalau ditanya apakah masa waktu ini cukup atau tidak, pasti jawabannya tidak,” ujarnya, Kamis (18/3/2021).

Poin kedua adalah wacana tersebut harus berdasarkan rasionalitas, apabila tidak maka publik harus mengkritisi lebih lanjut.

“Harus ada alasan terbuka ke publik yang menjelaskan mengapa periode waktu jabatan presiden perlu diperpanjang. Apabila disebutkan alasannya agar kinerja bisa lebih maksimal, justru saat ini harusnya kinerja pemerintah bisa lebih cepat dan efektif karena posisi partai mayoritas ada di pihak pemerintah,” ucapnya.

Ketika wacana tersebut disetujui dan disahkan, dosen mata kuliah Bidang Ketatanegaraan, Pemerintahan, dan Perbandingan Konstitusi itu menyebutkan akan ada beberapa dampak yang mungkin terjadi.

Dampak pertama, amandemen tersebut bisa mengakibatkan tujuan ideal pemilu untuk perputaran jabatan dimana publik menghendaki sosok pemimpn baru tidak tercapai. Selain itu, amandemen tersebut juga bisa memicu semakin besarnya ketidakpercayaan publik terhadap partai atau wakil di parlemen karena menganggap semua peraturan yang ditetapkan berdasarkan atas kepentingan tertentu.

Dampak lainnya menurut Radian adalah amandemen tersebut bisa memunculkan image bahwa Indonesia kekurangan sosok pemimpin. Secara tidak langsung, wacana itu dianggapnya telah melangar prinsip demokrasi dimana hak seseorang untuk dipilih telah berkurang. 

“Banyak sosok di Indonesia yang hak politiknya diciderai dengan ramainya isu ini. Hal ini tentu tidak baik bagi pengembangan leadership calon atau sosok lain yang akan muncul nantinya,” ujarnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Peluang Besar

Dikonfirmasi mengenai kemungkinan disahkannya wacana itu, Radian menuturkan jika melihat pada situasi politik saat ini dimana partai politik dominan mendukung pemerintah, maka peluang dilakukannya amandemen tersebut sangat besar. Oleh karena itu, dia menyampaikan harus ada waspada publik berupa kritik, diskusi, antitesis untuk menimbang wacana tersebut.

“Meskipun Presiden Jokowi telah menyatakan tidak berniat untuk melanjutkan tiga periode, akan tetapi pernyataan itu tidak memiliki dampak besar pada ramainnya isu ini. Pasalnya, presiden tidak punya kekuasaan untuk mengubah UU. Kekuasaan itu ada pada MPR,” ucapnya.

Meski begitu, Radian menjelaskan syarat untuk melakukan amandemen periode jabatan presiden adalah harus memenuhi ketentuan tentang aturan perubahan UU yang tertuang pada pasal 37.

“Harus ada diskusi panjang tentang siapa yang mengusulkan dan berapa banyak presentase yang menyetujui wacana tersebut,” ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya