Liputan6.com, Jakarta - Pakar hukum tata negara UNM Muhtar menilai sikap Pimpinan MPR yang tidak melaksanakan putusan paripurna DPD tentang penggantian Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad dengan Tamsil Linrung, merupakan pelecehan terhadap DPD RI.
Muhtar melihat dari sisi kelembagaan, apa yang dilakukan Pimpinan MPR ini tidak menghormati DPD RI. Padahal MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, sehingga MPR harusnya menghormati dinamika di masing-masing lembaga.
“Sudah cukup proses formil yang ada di DPD terkait penggantian wakil ketua MPR dari unsur DPD, ini harus dihormati oleh Pimpinan MPR dalam hubungan kelembagaan. Tidak bisa hal ini diabaikan,” kata Muhtar, Rabu (5/4/2023).
Advertisement
Secara ketatanegaraan penundaan pelantikan Wakil Ketua MPR Tamsil Linrung merupakan praktik yang tidak benar. Muhtar menilai ini adalah praktik buruk dalam penyelenggaraan ketatanegaraan, karena menghambat proses yang harusnya berjalan normal.
"DPD dilecehkan oleh MPR karena MPR tidak menyikapi masalah ini secara bijak sesuai dengan mekanisme ketatanegaraan,” ungkap Muhtar.
Dalam proses penggantian wakil ketua MPR, Fadel telah melakukan poses hukum ke PTUN. Hasilnya ternyata PTUN menolak dengan alasan penggantian wakil ketua MPR meupakan kewenangan lembaga, dan Fadel kemudian mengajukan upaya hukum lainnya.
“Seharusnya upaya hukum yang dilakukan Fadel Muhammad tidak boleh menghalangi poses yang sedang berjalan,” kata Muhtar.
Jadi Preseden Buruk
Dijelaskannya, dalam asas hukum administrasi negara asas praduga bahwa semua keputusan lembaga itu harus dianggap benar, sebelum ada keputusan yang memutuskan sebaliknya.
“Logikanya sederhana, kalau proses ini berjalan sesuai mekanisme yang berlaku sehausnya tidak ada alasan untuk melakukan penundaan pelantikan Tamsil Linrung,” kata Muhtar.
Diingatkannya, jika ke depan poses penundaan dengan alasan menunggu proses hukum inkracht menjadi trend maka akan menghambat semua laju ketatanegaraan.
“Ini akan jadi preseden buruk penyelenggaraan negara di masa mendatang,” ungkapnya.
Advertisement