Liputan6.com, Jakarta - Hingga saat ini, pemerintah belum mempunyai regulasi yang jelas terkait mekanisme pemblokiran (filtering) situs internet. Masing-masing Internet Service Provider (ISP) melakukan upaya filtering, umumnya mereka memanfaatkan layanan pihak ketiga, seperti layanan domain name server (DNS) Nawala yang dikelola oleh yayasan Nawala Nusantara.
Hal itu mesti dilakukan para ISP karena menurut Undang Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), semua konten yang melalui infrasturktur milik ISP menjadi tanggung jawab masing-masing ISP. Bila tak mematuhi regulasi tersebut, pihak ISP dapat kehilangan ijin operasi dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo).Â
Sementara pemerintah, dalam hal ini Kementrian Kominfo, diketahui juga memiliki database 'daftar hitam' sejumlah situs yang dianggap bermuatan konten negatif. Database ini diberi nama 'Trust Positif' dan meskipun tidak ada aturan tertulis, database ini menjadi acuan yang harus dijadikan refrensi oleh para ISP.
Menurut data yang dimiliki ICT Watch, sejauh ini ada sekitar lebih dari 1 juta alamat situs yang masuk ke dalam database Trust Positif. Situs resmi Kominfo merinci bahwa ada 744.032 domain dan 54.795 situs yang masuk ke dalam kategori situs tak boleh diakses.
Namun sayang, menurut Staf Advokasi Kebijakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, database Trust Positif tidak menawarkan proses normalisasi atau konfirmasi kesalahan blokir sebuah situs internet. Berbeda dengan DNS Nawala yang menyediakan fasilitas tersebut, situs resmi Kominfo hanya menawarkan fasilitas pengaduan.
Ini artinya, sebuah situs yang telah terblokir akan sulit untuk dinormalkan kembali, meski situs tersebut sebenarnya tidak mengandung konten negatif, seperti pornografi, perjudian, penipuan, malware ataupun phishing.
"Ada indikasi pelanggaran hak asasi, database Trust Positif hanya mendeteksi kata kunci yang masuk ke dalam kategori konten negatif, padahal belum tentu semuanya mengandung konten negatif di dalamnya. Hak asasi manusia (HAM) seharusnya menjadi pilar utama yang sangat penting dalam membangun regulasi tata kelola internet, termasuk urusan filtering," jelas Wahyudi di acara diskusi diskusi 'Tata Kelola Internet Indonesia Pasca IGF 2013' yang diselenggarakn ICT Watch, Kamis (10/4/2014).
Hal senada pun diungkapkan oleh Executive Director Yayasan Nawala Nusantara M. Yamin El Rust. Ia memaparkan bahwa Kominfo saat ini menggunakan tujuh lapis proses filtering yang tiap lapisnya ditangani oleh penyelenggara yang berbeda-beda, salah satunya DNS Nawala dan beberapa di antaranya berasal dari luar negeri.
Yamin menilai beberapa penyelenggara yang berasal dari luar negeri itu tidak benar-benar mengenal kondisi Indonesia. "Nawala hanya memblokir situs yang berkaitan dengan pornografi, perjudian, penipuan dan serangan cyber. Tidak ada situs normal yang kita blokir. Pemerintah itu pakai tujuh lapis filtering, Nawala hanya salah satunya. Beberapa lapis filtering lainnya diselenggarakan pihak luar negeri," papar Yamin.
Energi & Tambang