Tarif Iklan Mahal Tak Dongkrak Pendapatan Twitter

Tarif iklan di Twitter yang dianggap mahal membuat banyak perusahaan beralih ke Facebook dan Snapchat untuk menghabiskan belanja iklan.

oleh Corry Anestia diperbarui 27 Jul 2016, 17:40 WIB
Diterbitkan 27 Jul 2016, 17:40 WIB
Ilustrasi Twitter dan Sosial Media
Ilustrasi Twitter, Jejaring Sosial, Media Sosial. Kredit: Freepik

Liputan6.com, Jakarta - Tingginya tarif iklan di Twitter rupanya berdampak buruk terhadap keuangan perusahaan. Hal itu membuat pendapatannya diprediksi tak naik signifikan pada kuartal ketiga.

Seperti dikutip tim Tekno Liputan6.com dari CNET, Rabu (27/7/2016), Twitter memperkirakan pendapatannya hanya naik menjadi US$ 610 juta, dari US$ 590 juta di kuartal sebelumnya.

Estimasi tersebut cukup jauh dari perkiraan analis yang sebesar US$ 678,2 juta. 

"Budget untuk social marketing kini semakin meningkat. Namun, tarif iklan di Twitter masih tetap sesuai dengan CPE (cost per engagement) premium, sama seperti lainnya," kata perusahaan.

Itu artinya, banyak perusahaan kini lebih banyak menghabiskan budget iklan dalam kurs dolar untuk Facebook dan Snapchat ketimbang Twitter.

Tarif iklan di Twitter yang terlalu mahal membuat para investor tak senang dengan hal tersebut. Ini berdampak terhadap saham Twitter yang jeblok 11 persen. 

Untuk menarik belanja iklan dalam dolar, Twitter berencana untuk fokus pada layanan mobile video advertising. Sejauh ini, Twitter telah bekerja sama dengan National Football League (NFL) untuk menampilkan live-stream 10 NFL. 

Twitter juga telah menandatangani kesepakatan dengan National Basketball Association untuk menampilkan tayangan pregame, hingga live-stream Major League Baseball, serta National Hockey League. 

Dengan kesepakatan tersebut, jejaring sosial yang dinakhodai Jack Dorsey ini berharap ada peningkatan pengguna. Twitter mencatat pengguna bulanan aktifnya naik 1 persen dari 310 juta menjadi 313 juta.

(Cas/Isk)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya