Liputan6.com, Jakarta Rencana pemerintah untuk merevisi PP Nomor 52/2000 dan PP Nomor 53/2000 yang mengatur soal network sharing dan tarif interkoneksi dianggap tak adil dan tidak sesuai.
Pandangan itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prabowo saat media briefing soal network sharing di Jakarta, Selasa (11/10/2016).
Menurutnya, penetapan tarif interkoneksi yang ada saat ini dinilai tidak mempertimbangkan kondisi kesenjangan level para pelaku di lapangan (unequal playing field). Hal itu disebabkan masing-masing provider memiliki ongkos pemulihan dan coverage yang berbeda-beda.
"Kalau dengan penetapan yang disetarakan (simetris) seperti sekarang ini menjadi tidak adil, karena penyelenggara yang sudah lebih dulu beroperasi dan mengembangkan bisa mendapatkan hasil yang tak sesuai," ujar Yustinus.
Keputusan itu juga dapat berdampak pada kerugian negara, sebab ada kemungkinkan mengakibatkan terjadinya kompetisi yang tak sehat dan tak adil sehingga memicu perang harga. Kondisi itu membuat penjualan turun dan berpengaruh pada turunnya kontribusi PPN, PPh, dan PNBP.
Baca Juga
Estimasi perhitungan terjadinya potential loss atas revenue industri mencapai Rp 14 triliun. Kondisi itu juga berakibat pada penurunan penerimaan PPN sebesar Rp 1,4 triliun (10% dari 1,4 triliun), PPh Badan sebesar Rp 559 miliar (25% dari 14 triliun), termasuk PNBP sebesar 245 miliar (1,75% dari 14 triliun).
Dampak lain yang mungkin terjadi adalah multiplier effect karena turunnya capital expenditure (capex) dan operating expenditure (opex). Hal itu berakibat pada berkurangnya kue ekonomi bagi industri pendukung telekomunikasi.
Di samping itu, penerapan kebijakan network sharing yang diatur dalam kedua PP tersebut harus dilakukan dengan cermat melalui beberapa pertimbangan.
Yustinus menyebutkan, beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah perbedaan kontribusi investasi antar provider dan kemungkinan pembatasan waktu penerapan skema berbagi jaringan aktif dan kewajiban lainnya.
"Revisi PP harus ditujukan untuk menggerakkan sektor strategis industri telekomunikasi," ucap pria yang juga dikenal sebagai analis kebijakan publik ini.
Karena itu, menurutnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika diharapkan bisa menerapkan harga interkoneksi secara asimetris. Penetapan itu berbasis pada ongkos pemulihan dan coverage masing-masing operator secara berimbang.
"Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga harus mengkaji terlebih dulu potensi terjadinya persaingan usaha tidak sehat yang dapat ditimbulkan dari RPP tersebut," tuturnya mengakhiri pembicaraan.
(Dam/Isk)