Perlu Etika Digital Menyambut Pilkada

Etika ini diperlukan untuk mengisi ruang yang tak dapat diselesaikan melalui hukum perundang-undangan yang ada.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 18 Nov 2016, 11:38 WIB
Diterbitkan 18 Nov 2016, 11:38 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Pemilihan kepala daerah yang sebentar lagi berlangsung, hampir dapat dipastikan juga akan berimbas pada keriuhan di dunia maya, khususnya media sosial. Hal ini tak lepas dari peran media sosial yang sekarang ini telah menjadi saluran bagi masyarakat menyuarakan pendapatnya.

Kondisi itu, menurut Damar Juniarto dari Forum Demokrasi Digital, perlu memiliki peraturan tak tertulis atau etika untuk mengaturnya. Etika ini diperlukan untuk mengisi ruang yang tak dapat diselesaikan melalui hukum perundang-undangan yang ada.

Etika digital yang diperlukan dalam konteks Pilkada yang dilaksanakan tahun depan itu, beranjak pada dua hal. Pertama, mendorong orang untuk menggunakan haknya dan menyuarakan pendapatnya, tapi tidak untuk kemudian dijatuhkan. Jadi, pilihan seseorang itu perlu untuk dihormati.

"Jangan kemudian orang didorong untuk menyuarakan pendapat atau pilihannya, tapi kemudian dijatuhkan. Itu kan tidak sehat," ujar Damar, saat ditemui di gelaran Tech in Asia Jakarta 2016, Kamis (17/11/2016).

Menurut Damar, saat ini adalah era di mana orang dapat terbuka dengan pilihan politiknya, namun jangan sampai orang itu tak bisa berekspresi lagi.

Kedua, unggahan bersifat kebencian harus segera dihentikan. Damar menilai, kebencian seolah-olah mendapat tempat di media sosial.

Kondisi itu, apabila dilakukan terus menerus, dapat berujung pada disintegrasi bangsa. "Saat ini memang masih sebatas pada penyampaian, belum pada konflik sosial. Tapi, kalau dilanjutkan ada kemungkinan kita akan memiliki konflik yang berbasis kebencian di media sosial," tutur pria yang juga merupakan pegiat SAFEnet ini.

Disinggung mengenai keberadaan buzzer politik yang ada saat ini, Damar mengatakan sebenarnya masih ada kekurangan. Ia berpendapat, rata-rata buzzer politik saat ini tak cukup memberikan pendidikan politik. Mereka cenderung lebih pada upaya untuk memenangkan calonnya semata. Hal ini mendorong para buzzer untuk bersikap lebih menyerang dengan melakukan kampanye hitam pada rival pasangan calonnya.

"Padahal akan sangat menarik jika berbasis data. Jadi, masyarakat bisa menggunakan pilihan politiknya untuk memilih pemimpin yang paling tepat untuk bangsa atau wilayah kita," kata Damar melanjutkan.

Terlebih, media sosial sekarang menjadi saluran paling banyak disimak oleh masyarakat dan sangat tepat untuk dijadikan sarana pendidikan politik. Bila tidak dilakukan, dalam pandangan Damar, masyarakat hanya akan mendapat informasi yang tak cukup.

"Alih-alih lebih banyak orang terbuka dengan ketersediaan informasi, masyarakat malah dijejali dengan informasi yang tidak sebenarnya. Kita jadi kembali ke masa gelap," pungkas Damar mengakhiri pembicaraan.

(Dam/Why)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya