Pemerintah Sedang Siapkan PP "Hak untuk Dilupakan"

Peraturan tersebut nantinya tidak bisa dipakai sembarangan karena ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan.

oleh Andina Librianty diperbarui 26 Nov 2016, 18:50 WIB
Diterbitkan 26 Nov 2016, 18:50 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) soal ketentuan "right to be forgotten" atau "hak untuk dilupakan".

Hal ini diungkapkan Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika, Henri Subiakto di kawasan Cikini, Jakarta (26/11/2016). Menurutnya, peraturan tersebut nantinya tidak bisa dipakai sembarangan. Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan.

Salah satunya adalah orang yang meminta hak tersebut, misalnya, pernah terjerat kasus hukum. Pemberitaan mengenainya banyak muncul di internet. Namun jika di kemudian hari, pengadilan membuktikannya tidak bersalah, ia bisa meminta hak tersebut.

"Jadi tidak sembarangan orang bisa minta, harus ada keputusan dari pengadilan terlebih dahulu," kata Henri kepada tim Tekno Liputan6.com.

Sayangnya, Henri tidak mengungkapkan lebih lanjut kapan PP itu akan diberlakukan. "Jalannya masih panjang, kita lihat nanti," sambungnya.

Sebagai informasi, "hak untuk dilupakan" merupakan tambahan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah disahkan bulan lalu. Pemerintah dan DPR sepakat muatan materi perubahan dalam UU tersebut menambahkan "hak untuk dilupakan" pada Pasal 26.

Penjelasannya adalah setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi elektronik yang tidak relevan, yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan. Lalu, setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektronik yang sudah tidak relevan.

Adapun "hak untuk dilupakan" ini, telah didiskusikan dan dipraktikkan di Uni Eropa dan Argentina sejak 2006. 

Masalah ini muncul dari keinginan individu untuk menentukan perkembangan kehidupan mereka dengan cara yang otonom, tanpa terus-menerus atau secara berkala stigma sebagai konsekuensi dari tindakan tertentu yang dilakukan di masa lalu.

(Din/Cas)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya