Liputan6.com, Jakarta - Angka laporan kasus Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terus meningkat tiap tahunnya. Jaringan penggerak kebebasan berekspresi online, Safenet mencatat selama 2008 hingga 15 Desember 2016, jumlah laporan kasus UU ITE terverifikasi mencapai 177 kasus.
Menariknya, menurut Relawan Safenet Daeng Ipul, pelapor terbanyak berasal dari kalangan penguasa, pengusaha, dan profesional yang jumlahnya mencapai lebih dari 60 persen dari total pelapor. Sementara jumlah warga biasa yang melaporkan kasus UU ITE hanya 18 persen saja.
"Lebih banyak penguasa dan orang yang punya uang itu lebih gampang baper (terbawa perasaan atas unggahan yang ada di internet .red) sehingga lebih mudah lapor," katanya saat ditemui usai Dialog Dinamika UU ITE Pasca Revisi di Jakarta, Rabu (28/12/2016).
Advertisement
Baca Juga
Pria yang aktif koordinator Safenet di wilayah Sulawesi Selatan ini menambahkan, bagi mereka yang memiliki kuasa dan uang, kasus yang dinilai bersinggungan dengan UU ITE itu lebih mudah diteruskan ke ranah hukum.
Sementara, bagi warga biasa kasus maki-makian yang ada di jejaring sosial tidak berakhir di pengadilan. "Kenyataannya, di tingkat warga biasa, kalau kita lihat di Facebook mereka (saling) memaki segala macam, tetapi tidak berakhir di pengadilan. Paling ada yang sampai berantem satu lawan satu," tuturnya.
Daeng memaparkan kasus UU ITE yang telah dilaporkan ke ranah hukum kini status hukumnya bermacam-macam. Meski begitu mayoritas (37,3%) baru dilaporkan ke polisi, sedangkan sisanya berada dalam proses peradilan (13%), pemeriksaan kejaksaan (1,7%), mediasi (15,3%), diputus bersalah (14,7%) atau bebas (4,5%), serta sebagian lainnya berstatus tak jelas (13,6%).
Ia juga memaparkan fakta unik dari kasus UU ITE yang dilaporkan ke hukum. Menurutnya, kasus terbanyak justru bukan berasal dari bidang informasi dan transaksi elektronik seperti penipuan online, melainkan datang dari dugaan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Hal ini dianggap cukup menarik, sebab UU ITE mulanya ada untuk mengawasi kegiatan transaksi di dunia maya.
Kasus UU ITE paling banyak dilaporkan terjadi di Pulau Jawa diikuti dengan Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat dan dugaan pelanggaran dilakukan di media sosial Facebook, Twitter, dan lain-lain dengan korban mayoritas laki-laki.
(Tin/Cas)