OPINI: Cara Melindungi Data Saat Terjadi Bencana Alam

Untuk mempersiapkan perencanaan pemulihan bencana untuk sistem TI, terdapat beberapa aspek infrastruktur TI yang penting untuk diperhatikan.

oleh Liputan6 diperbarui 20 Mar 2017, 19:00 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2017, 19:00 WIB
 Ana Sopia, Country Manager NetApp Indonesia
Ana Sopia, Country Manager NetApp Indonesia. Liputan6.com/Triyasni

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia adalah negara yang rawan bencana alam. Menurut statistik terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di tahun 2016 terdapat sekitar 1.985 bencana alam yang disebabkan oleh banjir, air pasang, gempa bumi, gunung meletus, abrasi, angin topan, kebakaran hutan, dan tsunami.

Ini adalah rekor jumlah bencana alam tertinggi yang pernah terjadi sejak tahun 2006. Kerugian finansial yang disebabkan oleh bencana alam di Indonesia menurut BNPB diperkirakan mencapai IDR 30 triliun atau sekitar USD 2,2 miliar per tahun.

Dari sisi perusahaan, bencana alam juga memengaruhi bisnis terutama infrastruktur teknologi informasi (TI) mereka. Menurut Disaster Recovery Preparedness Council, sebuah organisasi penelitian independen, hampir 20 persen perusahaan yang mengikuti survei mereka pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa mereka mengalami kerugian lebih dari USD 50.000 karena bencana alam, sementara yang lainnya mengalami kerugian hingga lebih dari USD 1 juta.

Sayangnya, 60 persen dari perusahaan yang mengikuti survei tidak memiliki rencana pemulihan bencana yang komprehensif agar bisa secara tepat menanggulangi bencana yang mungkin terjadi.

Untuk mempersiapkan perencanaan pemulihan bencana untuk sistem TI, terdapat beberapa aspek infrastruktur TI yang penting untuk diperhatikan. Berikut adalah praktek terbaik yang bisa dilakukan bisnis untuk mengembangkan perencanaan pemulihan bencana alam.

1. Mengatasi downtime sistem di tengah bencana alam

Terlepas dari perkembangan terkini dalam ketahanan infrastruktur, perusahaan TI harus bisa menghadapi ancaman downtime atau tidak bisa diaksesnya layanan sistem dalam jangka waktu tertentu akibat bencana alam.

Hal ini sangat mungkin menyebabkan kerugian ekonomi yang besar untuk bisnis, seperti yang ditunjukkan dalam laporan terbaru oleh IDC dan AppsDynamics yang menemukan bahwa untuk perusahaan-perusahaan Fortune 1000, rata-rata total biaya tak terduga yang harus dikeluarkan akibat downtime aplikasi mencapai US$ 1,25 miliar hingga US$ 2,5 miliar.

Salah satu solusi mitigasi untuk mengatasi downtime adalah menyiapkan ketersediaan software pemulihan bencana yang berkelanjutan melalui pengelompokan berbasis array dan sinkronisasi mirroring. Hal ini memungkinkan duplikasi semua data yang dianggap penting untuk operasi bisnis dari transaksi ke transaksi.

Alternatif lainnya adalah dengan menyediakan teknologi perlindungan double parity atau pengecekan data ganda atas kerusakan tempat penyimpanan berupa hard disk (disk-failure). Hal ini dilakukan untuk mencegah kehilangan data, terutama ketika segala upaya pemulihan terhadap bencana gagal dilakukan.

Perusahaan juga dapat menggunakan perangkat lunak (software) yang dapat replikasi data dan menetapkan recovery point objective (RPO) atau prediksi dan pengaturan mengenai lama periode data yang mungkin hilang sejak terakhir melakukan duplikasi. Misalnya dalam hitungan menit hingga jam untuk menghindari kerusakan data hasil mirroring akibat kegagalan pada waktu tertentu pada data salinan pemulihan bencana.

2. Menggunakan infrastruktur hemat biaya untuk menekan biaya ekonomis dari bencana

Banyak perusahaan yang merasa bahwa perencanaan pemulihan bencana membutuhkan infrastruktur canggih sehingga membutuhkan biaya mahal. Padahal, infrastruktur berbasis cloud bisa menjadi opsi yang lebih hemat biaya dan lebih realistis dibandingkan dengan membangun pusat data sendiri.

Karena tentunya perusahaan bisa dengan mudah menyewa infrastruktur virtual di cloud. Bahkan, penerapan perencanaan pemulihan bencana berbasis cloud akan menghemat pengeluaran perusahaan sebanyak US$ 150.000 selama tiga tahun berkat cost avoidance atau upaya menghindari pengeluaran.

Dengan solusi pemulihan bencana berbasis cloud, sumber biaya utama yang harus diperhatikan adalah bandwidth jaringan dan konsumsi penyimpanan. Biaya ini dapat dikurangi dengan memanfaatkan kompresi data yang dapat menekan ukuran data hingga 70 persen atau lebih sehingga data dan sistem aplikasi bisa masuk ke dalam ruang penyimpanan yang lebih kecil.

Pengelolaan biaya juga dapat dilakukan dengan melakukan teknik deduplikasi dan data transfer yang memungkinkan sistem untuk mencari data yang diduplikasi kemudian menghapusnya untuk menghemat ruang penyimpanan dan hanya memindahkan file, aplikasi, dan sistem yang terbaru.

Dengan menggunakan infrastruktur cloud, total cost of ownership atau total biaya kepemilikan akan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya pembangunan atau penggunaan fasilitas penyimpanan data on-premise atau di dalam gedung kantor.

3. Menjaga tata kelola yang baik bersama dengan pemerintah untuk memastikan kerja sama yang baik selama terjadi bencana

Ketika terjadi bencana alam, banyak pemangku kepentingan yang akan terkena dampaknya, termasuk perusahaan dan institusi maupun badan pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara pemangku kepentingan untuk memastikan pengembangan perencanaan pemulihan bencana alam yang terintegrasi dengan baik dan menyeluruh.

Komitmen perusahaan atas good governance atau tata kelola yang baik merupakan praktek terbaik dalam memastikan kerjasama yang baik antar pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya pemulihan bencana alam.

Dalam hal kesiapan menghadapi bencana alam, perusahaan di Indonesia harus mematuhi peraturan tentang kesiapan pemulihan bencana bagi penyelenggara sistem elektronik dibawah Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2012.

4. Secara efektif melakukan peningkatan (scale-up) atas solusi pemulihan bencana alam Anda

Kemampuan untuk melakukan scale-up atau peningkatan ruang penyimpanan data merupakan elemen penting dari perencanaan pemulihan bencana alam yang kuat. Ini berarti solusi yang dimiliki bisa disesuaikan untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan TI.

Infrastruktur berbasis cloud memberikan peluang bagi perusahaan untuk memiliki akses terhadap data secara lebih fleksibel dan hemat biaya.

Kesimpulannya, perencanaan pemulihan bencana alam harus dilihat sebagai kebutuhan dalam perencanaan kelangsungan bisnis, terutama di Indonesia, dimana perekonomian dan jumlah perusahaan lokal berkembang pesat.

Meskipun langkah-langkah diatas hanya menyediakan satu segi dari keseluruhan rencana pemulihan, akan tetapi langkah-langkah tersebut membahas pentingnya perencanaan infrastruktur TI dan perlindungan data yang inovatif dan efektif untuk meminimalisasi kerugian dan mencegah terhentinya seluruh operasi ketika bencana alam terjadi.

(Isk)

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya