Tiongkok Lebih Sigap Tangkal Konten Negatif Ketimbang Indonesia

Konten negatif yang marak beredar di situs Indonesia belakangan tak bisa lepas dari bebasnya lalu lintas konten di internet.

oleh Jeko I. R. diperbarui 28 Agu 2017, 13:01 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2017, 13:01 WIB
Seminar Indonesia Techonology Forum
Agung Harsoyo, Komisioner BRTI di dalam Seminar Indonesia Techonology Forum. Liputan6.com/Jeko Iqbal Reza

Liputan6.com, Jakarta - Konten negatif yang marak beredar di situs Indonesia belakangan tak bisa lepas dari bebasnya lalu lintas konten di internet. Dalam hal ini, keluar masuknya konten internet di Indonesia boleh dibilang sulit dipantau.

Menurut pandangan Komisioner BRTI Agung Harsoyo, pemerintah harus bahu membahu menangani konten negatif yang berseliweran di ranah maya. Maka itu, ia menyarankan Indonesia harus bisa 'mengunci' rapat sejumlah 'gerbang' masuknya konten negatif ke Indonesia.

Agung mengatakan, Indonesia masih punya banyak celah masuknya konten negatif. Ia pun membandingkan hal ini dengan yang ada di Tiongkok. Ia menilai, cara pemerintah Negeri Tirai Bambu menangani konten negatif lebih sigap dibanding Indonesia. Apa alasannya?

"Indonesia itu punya 'arsitektur' media sosial yang pada umumnya berbeda dengan Tiongkok," ujar Agung dalam seminar Indonesia Technology Forum yang dihelat di Balai Kartini, Senin (28/8/2017)

Analoginya, lanjut Agung, setiap kota itu ada akses masuk konten. Indonesia sendiri ada 14 gerbang internasional. Artinya, kalau pemerintah mau jaga lalu lintas internet, maka harus dilihat dari 14 gerbang tersebut.

"Akses yang pintunya banyak, jendela banyak, itu ada di kita. Secara arsitektur, (Indonesia) jelas beda dengan Tiongkok, mereka gerbangnya cuma satu, jadi pantauannya lebih mudah," tandas pria yang juga berprofesi sebagai dosen Fakultas Teknik Elektro ITB ini.

Sekadar informasi, diskusi tersebut membahas soal penanggulangan konten negatif di media sosial oleh OTT dan industri telekomunikasi.

Adapun konten negatif yang sering muncul di Indonesia antara lain seperti berita bohong (hoax) serta tindak perundungan (bullying) yang menjurus pada perpecahan dan integritas berbangsa dan bernegara.

Pemerintah--dalam hal ini diwakilkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) sudah mencanangkan rencana penolakan konten negatif sejak Juni 2017.

Kemkominfo juga menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyosialisasikan agar masyarakat semakin sadar dengan hiruk pikuk konten negatif di medsos.

MUI sendiri juga telah mengeluarkan fatwa pedoman hukum dan pedoman bermumalah di media sosial.

"Fatwa ini merupakan manifestasi tanggung jawab ulama akibat ketidakdewasaan dalam bermedia sosial. Oleh sebab itu, fatwa ini tidak semata-mata membantu pemerintah, tapi bentuk tanggung jawab MUI," ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am.

Lebih lanjut, Ni'am menuturkan bahwa MUI secara khusus menggali informasi dari regulasi yang ada, memahami isu terkini, termasuk meminta perspektif para ahli untuk membuat fatwa tersebut.

"Fatwa ini dibuat dari pendekatan yang holistik, termasuk didukung riset terkini. Untuk itu, selain persoalan halal-haram, fatwa ini juga memberikan pedoman untuk melakukan tabayun," pungkasnya.

(Jek/Ysl)

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya