Tren Big Data Meningkat, Indonesia Kekurangan Ilmuwan Data

Telkom ingin agar perguruan tinggi di Indonesia membuat fakultas bisnis analytics dengan kurikulum yang sesuai kebutuhan dunia usaha.

oleh Muhammad Sufyan Abdurrahman diperbarui 29 Agu 2017, 14:00 WIB
Diterbitkan 29 Agu 2017, 14:00 WIB
Telkom
(Ki-ka) Head of Research & Big Data Telkom, Komang Budi, Ketua Majelis Wali Amanah Institut Teknologi Surabaya, Mohammad Nuh, dan Kepala Telkom Regional Jawa Barat, Ketut Budi Utama di Bandung.

Liputan6.com, Bandung - Indonesia dinilai kekurangan tenaga pekerja di bidang big data. Padahal, kebutuhan ilmuwan data diprediksi semakin besar, seiring semakin banyaknya perusahaan yang memanfaatkan analisis big data untuk mengambil keputusan bisnis.

Demikian diungkapkan Head of Research & Big Data Telkom, Komang Budi Aryasa, di Seminar Ekonomi Digital di El Royale Hotel, Bandung, beberapa waktu lalu.

"Sebelum ada big data, pengambilan keputusan perusahaan dilakukan dengan menggunakan intuisi pimpinan. Sekarang, keputusan diambil dengan menggunakan data yang melimpah," kata Komang.

Persoalannya, lanjut Komang, data yang melimpah tidak bisa digunakan secara mentah. Data harus diolah terlebih dahulu oleh ilmuwan data agar bisa digunakan untuk mengambil keputusan.

Ia menyarankan agar perguruan tinggi di Indonesia membuat fakultas bisnis analytics dengan kurikulum yang sesuai kebutuhan dunia usaha. "Di Indonesia, SDM yang memiliki kompetensi ini masih jarang. Selain belum ada jurusan di perguruan tinggi yang mendalami bidang ini, big data analytic masih terbilang baru di Indonesia," tuturnya.

Ketua Alumni Institut Teknologi Surabaya (ITS), Ketut Budi Utama, menambahkan kebutuhan big data dan analisis diprediksi meningkat. Big data dibutuhkan perusahaan, salah satunya untuk memprediksi perilaku pelanggan.

Sebagaimana diketahui, ilmuwan data bertugas untuk mengembangkan dan merencanakan kebutuhan analisis dalam menjawab kebutuhan bisnis. Sebagai informasi, gaji ilmuwan data di AS mencapai US$ 111.000 AS, jauh lebih tinggi dibanding analis data yang berkisar US$ 70.000.

AS Darurat Tenaga Ilmuwan Data

Masih minimnya pasokan ilmuwan data di Indonesia juga pernah dilontarkan Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Dimitri Mahayana. Ia bahkan memprediksi adopsi big data di Indonesia bakal meningkat dalam dua sampai tiga tahun ke depan.

"Permintaan untuk data scientist membludak dengan adanya big data, perusahaan kekurangan sumber daya manusia yang tepat," kata Dimitri.

Berdasarkan survey Sharing Vision di Indonesia pada 2016, sebanyak 74 persen dari 35 orang responden mengaku berpotensi mengadopsi big data. Tidak ada satu pun responden yang meragukan keberhasilan big data dalam menunjang pengambilan keputusan.

Namun, sebanyak 48 persen responden mengatakan, kendala utama dalam adopsi big data adalah SDM. Kompetensi yang paling dibutuhkan dalam mengadopsi big data, menurut mereka adalah big data analytic.

Kekurangan ilmuwan data, bukan hanya terjadi di Indonesia. AS yang sudah jauh lebih mapan dalam adopsi big data nyatanya juga mengalami persoalan serupa.

McKinsey Global Institute dan McKinsey's Business Technology Office memprediksi kebutuhan ilmuwan data di AS hanya memenuhi 50-60 persen permintaan pada 2018. Proyeksi kekurangan ilmuwan data pada 2018 diprediksi mencapai 190.000 orang.

"Persoalannya, 12 persen pimpinan perusahaan tidak mengerti cara menganalisis big data. Sebanyak 10 persen perusahaan kekurangan tenaga ilmuwan data dan 86 persen perusahaan mencari tenaga yang tepat," tuturnya.

(Msu/Cas)

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya