Bitcoin, Halal atau Haram?

Bagi masyarakat Indonesia yang menganut Islam, sebagian di antara kita mungkin bertanya-tanya, bagaimana sebetulnya kedudukan Bitcoin.

oleh IskandarM Hidayat diperbarui 16 Jan 2018, 12:55 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2018, 12:55 WIB
Ilustrasi Bitcoin. Liputan6.com/Mochamad Wahyu Hidayat
Ilustrasi Bitcoin. Liputan6.com/Mochamad Wahyu Hidayat

Liputan6.com, Jakarta - Bagi masyarakat Indonesia yang menganut Islam, sebagian di antara kita mungkin bertanya-tanya, bagaimana sebetulnya kedudukan Bitcoin menurut hukum Islam, baik sebagai alat tukar maupun untuk investasi? Apakah halal atau haram?

Menjawab hal itu, Tekno Liputan6.com mengutip tulisan Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat periode 2015-2020, KH Cholil Nafis, Selasa (16/1/2017).

Dalam tulisan yang dimuat di blog pribadinya, cholilnafis.com, pria kelahiran Sampang, Jawa Timur itu memaparkan, "Sebagian ulama mengatakan, Bitcoin sama dengan uang karena menjadi alat tukar yang diterima oleh masyarakat umum, standar nilai dan alat saving. Namun ulama lain menolaknya sebagai pengakuan masyarakat umum karena masih banyak negara yang menolaknya."

Jangankan di Indonesia, di luar negeri pun kehadiran Bitcoin masih memicu pro dan kontra. Mulai dari politikus, kalangan perbankan, pengusaha hingga petinggi perusahaan teknologi ternama dunia, ramai-ramai mengomentari Bitcoin.

KH Cholil Nafis yang merupakan anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) periode 2015-2020 juga menukil definisi uang dari kitab Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami.

"النقد هو كل وسيط للتبادل يلقي قبولا عاما مهما كان ذلك الوسيط وعلى أيّ حال يكون”

"Uang: segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara umum, apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa pun."

Kemudian mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu mengemukakan kutipan fatwa Dewan Syariah Nasional yang berbunyi, "Transaksi jual beli mata uang adalah boleh dengan ketentuan: tidak untuk spekulasi, ada kebutuhan, apabila transaksi dilakukan pada mata uang sejenis, nilainya harus sama dan tunai (attaqabudh). Jika berlainan jenis, harus dengan kurs yang berlaku saat transaksi dan tunai."

Dengan demikian, lanjut KH Cholil, kedudukan Bitcoin sebagai alat tukar menurut hukum Islam adalah boleh, tetapi dengan syarat harus ada serah terima (taqabudh) dan sama kuantitasnya jika jenisnya sama.

"Jika jenisnya berbeda, disyaratkan harus taqabudh secara hakiki atau hukmi; ada uang, ada Bitcoin yang bisa diserahterimakan," terang pria yang menyelesaikan pendidikan PhD di University of Malaya, Malaysia pada 2010 tersebut.

Kesimpulan

Ilustrasi Bitcoin. Liputan6.com/Mochamad Wahyu Hidayat
Ilustrasi Bitcoin. Liputan6.com/Mochamad Wahyu Hidayat

Mengenai permasalahan Bitcoin sebagai aset untuk investasi, KH Cholil menekankan bahwa ini cenderung termasuk gharar, yaitu spekulasi yang dapat merugikan orang lain.

Pernyataan KH Cholil soal hukum Bitcoin ternilai Bitcoin yang jauh melampaui mata uang konvensional tidak hanya membuat Bitcoin sebagai mata uang kripto menarik perhatian masyarakat, tetapi juga sebagai aset untuk investasi.

"Keberadaannya tak ada aset pendukungnya, harga tak bisa dikontrol, dan keberadaannya tak ada yang menjamin secara resmi, sehingga kemungkinan besar banyak spekulasi ialah haram," tegas KH Cholil.

Dengan demikian, berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut di atas, ia mengatakan hukum Bitcoin sebagai alat tukar adalah mubah (boleh) bagi mereka yang berkenan untuk menggunakan dan mengakuinya.

Namun hukum Bitcoin sebagai investasi menjadi haram karena nyatanya Bitcoin diperlakukan sebagai alat spekulasi, bukan untuk investasi, atau dengan kata lain, hanya menjadi alat permainan untung-rugi, bukan suatu bisnis yang menghasilkan.

Keputusan Bank Indonesia

Lipsus Bitcoin
Infografis bitcoin (Liputan6.com/Triyasni)

Bank Indonesia (BI) dengan tegas melarang penggunaan Bitcoin dalam setiap transaksi di Indonesia. Salah satu faktor yaitu tingginya fluktuasi yang dimiliki Bitcoin.

Hal ini kemudian membuat Bank Indonesia menyisipkan penegasan mengenai pelarangan penggunaan bitcoin ini dalam dua Peraturan Bank Indonesia, yaitu PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/PBI/2017​ tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Direktur Eksekutif Pusat Program Transformasi Bank Indonesia (PPTBI) Onny Widjanarko membuktikan risiko Bitcoin tersebut.

"Risiko secara konvertibilitas itu tidak ada jaminan ditukarkan dengan fiat money, apalagi dengan volatilitas harga yang tinggi," kata Onny di Gedung Bank Indonesia, Senin (15/1/2018).Ia menyebutkan, saat ini Bitcoin memang memiliki nilai paling tinggi di antara 1.400 virtual currency atau mata uang digital yang ada di dunia. Per satu Bitcoin kini nilainya Rp 193,8 juta dengan kapitalisasi pasar mencapai US$ 240 miliar.

Dari chart harga yang ditampilkan Onny, harga Bitcoin yang disebutkan sebelumnya jauh berbeda jika dibandingkan dengan harga satu hari sebelumnya Rp 194,1 juta. Bahkan jika dibandingkan harga 13 Januari 2018, saat ini ada di Rp 203,7 juta.

Tingginya fluktuasi harga tersebut karena nilainya ditentukan pada harapan penawaran dan permintaan di masa mendatang (spekulatif),

Dari data tersebut menunjukkan fluktuasi harga Bitcoin sangat berisiko. Hal inilah yang menyebabkan Bank Indonesia (BI) terus melarang penggunaan Bitcoin tersebut.

"Tidak hanya itu, Bitcoin juga berisiko terhadap stabilitas sistem keuangan apabila terjadi bubble burst karena terdapat interaksi antara virtual currency dan ekonomi riil," pungkasnya.

(Isk/Why)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya