HEADLINE: Skandal Kebocoran Data, Pengguna Bakal Tinggalkan Facebook?

Tak menutup kemungkinan Facebook akan ditinggalkan penggunanya jika kebocoran data pribadi kian meluas.

oleh Andina LibriantyAgustinus Mario DamarAgustin Setyo WardaniTommy K. Rony diperbarui 22 Mar 2018, 00:02 WIB
Diterbitkan 22 Mar 2018, 00:02 WIB
Facebook
Facebook (AP Photo/Thibault Camus, File)

Liputan6.com, Jakarta - Isu kebocoran 50 juta data penggguna Facebook membuat perusahaan teknologi pemilik WhatsApp dan Instagram tersebut krisis. Jika terbukti benar, skandal ini menjadi salah satu yang terbesar--bahkan terparah--yang pernah dialami raksasa media sosial tersebut.

Cambridge Analytica (CA) dilaporkan terlibat dalam skandal kebocoran data 50 juta pengguna Facebook. Firma yang pernah bekerja dengan tim kampanye Donald Trump saat pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) 2016 itu dituding menggunakan jutaan data pengguna untuk membuat sebuah software yang bisa memprediksi dan memengaruhi pemilihan suara.

Selain itu, data pengguna Facebook juga diduga dimanfaatkan CA untuk kampanye referendum Uni Eropa di Britania Raya. Hal ini tentunya sangat berisiko, di mana data privasi kita bisa digunakan untuk memengaruhi suara politik, dan akan berimbas besar ke hasil pemungutan suara yang pastinya mencoreng nilai demokrasi.

CA sendiri adalah perusahaan yang dimiliki oleh miliarder teknologi bernama Robert Mercer. Salah satu jajaran direksinya, sebelum dilantik sebagai penasihat Presiden Trump, adalah Steve Bannon yang juga petinggi di media konservatif Breitbart.

Sejak 2014 silam, Cambridge Analytica mengembangkan sebuah teknik untuk mendapat data Facebook dari kuis kepribadian. Tipe kuis yang memang cukup populer di Facebook ini dikerjakan oleh perusahaan pihak ketiga yakni Global Science Research.

Apakah pemanfaatan metode tersebut juga akan terjadi di Indonesia? Jika demikian, apakah pengguna akan ramai-ramai meninggalkan Facebook?

Pengamat media sosial Abang Edwin Syarif Agustin menyebut tak tertutup kemungkinan hal itu dapat terjadi, mengingat tahun depan akan ada pilpres di Indonesia. Namun, ia menyebut memang belum ada fakta yang membuktikannya.

"Hal ini mungkin terjadi karena mengadu gagasan dan kompetisi di media sosial merupakan cara yang mudah--tak perlu menggunakan banyak biaya--ketimbang harus melakukan kampanye ke tempat-tempat tertentu," tutur Edwin saat dihubungi Tekno Liputan6.com, Rabu (21/3/2018) sore di Jakarta.

Terkait pandangan pengguna terhadap temuan Facebook ini, Edwin menyebut hal itu tergantung dari cara Facebook merespons masalah ini.

Saham Facebook Anjlok

Sentimen publik dilaporkan juga mulai negatif setelah masalah ini, terlihat dari turunnya nilai saham perusahaan tersebut yang anjlok 6,77 persen. Nilai valuasi perusahaan pun turun hingga US$ 36 miliar (setara dengan Rp 495 triliun) seiring dengan kekhawatiran investor atas kasus kebocoran data yang menimpa Facebook. Tak hanya itu, nilai kekayaan Mark Zuckerberg juga turun sebesar US$ 6,06 miliar atau setara Rp 83,3 triliun.

Sementara untuk di Indonesia, Edwin mengatakan, belum banyak pengguna yang menyadari masalah data. Namun, jika tiba-tiba ditemukan kasus serupa di Indonesia, bukan tak mungkin Facebook akan ditinggalkan pengguna.

"Saya pikir Facebook akan ditinggalkan (jika memang ada kasus serupa yang ditemukan di Indonesia). Apalagi jika ditemukan ada calon presiden tak terduga yang menang karena media sosial, pasti akan ada reaksi. Terlebih, kalau memang ada whisteblower yang mengungkap hal ini," ucap pria yang juga menjabat sebagai CEO PT Ansvia.

Karenanya, ia mengingatkan pengguna untuk memakai platform media sosial dan internet secara lebih berhati-hati. Edwin juga menuturkan pengguna harus memanfaatkan dan menggunakan media sosial sewajarnya.

Facebook Kecolongan

Facebook
Facebook (AP Photo/Matt Rourke, File)

Ia pun menyebut dengan kasus ini masyarakat jadi lebih melek terhadap data miliknya yang ada di media sosial. Jadi, pengguna harus mengetahui bahwa ada kemungkinan informasi atau data di media sosial dapat dibobol oleh peretas, sehingga pengguna harus hati-hati dalam mengunggah informasi dirinya.

"Mengingat kita menggunakan platform (media sosial) tersebut secara gratis, sebenarnya ada informasi pengguna (tak terlihat) yang diambil pihak media sosial dan itu harus disadari. Oleh sebab itu, kita sebagai pengguna harus memakai platform tersebut dengan lebih hati-hati dan memakainya secara wajar," ujarnya menambahkan.

Menurut petinggi jejaring sosial MindTalk itu kasus ini sebenarnya menjadi contoh Facebook yang kecolongan pemakaian data pengguna. Ia mengatakan, apa yang dilakukan Aleksandr Kogan selaku peneliti CA melalui sebuah aplikasi bernama thisisyourdigitallife untuk melakukan survei sebenarnya hal yang biasa.

"Hal itu normal, sebab siapa saja bisa menciptakan aplikasi yang ditempeli dengan Application Programming Interface (API) Facebook. Namun, yang jadi permasalahan CA tak hanya melihat profil responden di Facebook, tapi juga teman-temannya. Itu yang melanggar dan menyalahi aturan sehingga jumlah data yang terkumpul sangat besar," tuturnya.

Karenanya, dia menyebut Facebook kecolongan dalam kasus ini. Padahal, mereka sebenarnya dapat mengatur soal pembagian data yang dibutuhkan pihak ketiga.

Akan tetapi, ada sisi baik dari terbongkarnya kasus ini karena Facebook mulai menata ulang peraturan pembagian data ini dengan pihak ketiga.

Seruan Hapus Facebook dari Pendiri WhatsApp

Pendiri WhatsApp Buka-bukaan Soal Akuisisi
Brian Acton (StartX)

Di samping itu, seruan untuk meninggalkan Facebook bergaung di Twitter dengan tagar #deletefacebook. Seruan #deletefacebook juga dilontarkan oleh pendiri WhatsApp, Brian Acton. Ini jelas mengejutkan, mengingat WhatsApp adalah layanan pesan instan yang dimiliki Facebook.

Dilansir Market Watch, Acton menyampaikan pernyataan tersebut dalam Twitter-nya @brianacton. "Inilah waktunya, #deletefacebook," cuit pria tersebut.

Acton tidak mengungkap alasan mengapa ia sampai mencuit pernyataan yang menghebohkan ini. Laporan Market Watch, akun Facebook Acton masih aktif setelah beberapa jam cuitan itu ditayangkan, hingga akhirnya dinonaktifkan pada Selasa (20/3/2018) malam waktu AS.

Tidak hanya itu, pertanyaan soal keberadaan Mark Zuckerberg juga terus digaungkan di jejaring sosial Twitter dengan tagar #WheresZuck alias "Dimana Mark Zuckerberg" terkait dengan sikap bungkam Zuckerberg.

Facebook akhirnya buka suara beberapa hari kemudian setelah kasus ini mencuat. Perusahaan mengungkap Mark Zuckerberg dan COO Facebook Sheryl Sandberg sedang fokus mengatasi masalah ini.

"Mark, Sheryl dan tim mereka bekerja sepanjang waktu untuk mengumpulkan fakta dan mengambil langkah yang tepat ke depannya, karena mereka menganggap masalah ini serius," kata pihak Facebook dalam pernyataannya, seperti dikutip dari The Verge.

Pemilik WhatsApp dan Instagram itu juga menegaskan komitmennya untuk melindungi data semua orang.

"Kami sangat marah karena telah ditipu. Kami berkomitmen menegakkan semua kebijakan kami melindungi informasi semua orang dan akan mengambil langkah apa pun yang dibutuhkan," jelas perusahaan asal Negeri Paman Sam tersebut.

Pernyataan Facebook ini dinilai berisi sejumlah pesan penting. Pertama, respons Facebook terlihat emosional, mengingat perusahaan pada pekan lalu menyebut tindakan CA "tidak dapat diterima", kini mereka mengaku sangat marah.

Kedua, pernyataan Facebook dinilai membuat perusahaan terlihat sebagai korban, dan tidak turut andil dalam penyalahgunaan data. Pesan terakhir, Facebook sadar banyak orang ingin mendengarkan penjelasan langsung Zuckerberg.

 

Kronologi Kebocoran Data Pengguna Facebook

Mark Zuckerberg
CEO Facebook Mark Zuckerberg (AP Photo/Jeff Roberson)

Co-founder CA Christoper Wylie diduga sebagai orang pertama--whistleblower (pembocor rahasia internal)--yang meramaikan kasus ini. Ia membeberkan berbagai hal yang dilakukannya.

Kepada Observer The Guardian, Wylie mengungkap bagaimana CA menggunakan informasi personal diambil tanpa izin pada awal 2014 untuk membangun sebuah sistem yang dapat menghasilkan profil pemilih individual AS. Hal ini dilakukan untuk menargetkan mereka dengan iklan politik yang telah dipersonalisasi.

"Kami mengekspolitasi Facebook dan 'memanen' jutaan profil orang-orang. Kami membuat berbagai model untuk mengeksploitasi apa yang kami tahu tentang mereka dan menargetkan 'isi hati' mereka. Itulah dasar keseluruhan perusahaan dibangun," ungkap Wylie.

Dokumen yang dilihat Observer dan dikonfirmasi oleh pernyataan Facebook, menunjukkan bahwa perusahaan pada akhir 2015 mengetahui ada kebocoran data yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, Facebook saat itu gagal memperingatkan para pengguna, kemudian hanya melakukan sedikit upaya untuk memulihkan dan mengamankan informasi lebih dari 50 juta penggunanya.

Menurut laporan New York Times, salinan pengambilan data untuk CA masih bisa ditemukan di internet. Tim media tersebut, juga dilaporkan melihat beberapa data mentah.

Seluruh data dikumpulkan melalui sebuah aplikasi bernama thisisyourdigitallife, yang dibuat oleh akademisi Aleksander Kogan, terpisah dari pekerjaannya di Cambridge University.

Melalui perusahaannya, Global Science Research (GSR) berkolaborasi dengan CA, membuat ratusan ribu pengguna dibayar untuk menjalani pengujian kepribadian dan menyetujui data mereka diambil untuk kepentingan akademis.

Selain itu, aplikasi juga mengumpulkan informasi dari test-taker teman-teman di Facebook, yang menyebabkan akumulasi puluhan juta data.

Kebijakan platform Facebook hanya mengizinkan pengumpulan data teman-teman untuk meningkatkan pengalaman pengguna di aplikasinya, dan dilarang untuk dijual atau digunakan untuk iklan.

Selain dugaan keterlibatan skandal media sosial CA dalam Pilpres AS, CA dan Facebook menjadi fokus penyelidikan terkait data dan politik oleh British Information Commissioner's Office. Secara terpisah, Electoral Commision juga menyelidiki peran CA dalam referendum Uni Eropa.

Facebook Membantah

Pada Jumat (16/3/2018), empat hari setelah Obeserver meminta komentar atas laporan ini dan lebih dari dua tahun setelah kebocoran data pertama kali dilaporkan, Facebook mengumumkan telah menangguhkan CA dan Kogan dari layanannya, sambil menunggu informasi lebih lanjut soal penyalahgunaan data.

Pihak CA sendiri berulang kali membantah bekerja dan menggunakan data Facebook. Sementara itu, pihak Facebook mengatakan CA mungkin memiliki banyak data, tapi bukan pengguna Facebook.

"Mereka mungkin memiliki banyak data, tapi bukan data pengguna Facebook. Data itu mungkin tentang orang-orang yang ada di Facebook yang mereka kumpulkan sendiri, tapi itu bukan kami yang memberikannya," ungkap Direktur Kebijakan Facebook di Inggris, Simon Milner.

Adapun Wylie selaku ahli analisis data asal Kanada yang bekerja dengan CA dan Kogan, menunjukkan sebuah dokumen bukti tentang penyalahgunaan data kepada Observer, sehingga menimbulkan keraguan atas pernyataan Facebook dan CA.

Ia telah menyerahkan dokumen tersebut kepada unit kejahatan siber National Crime Agency dan Information Commisioner's Office Inggris.

Wylie Ditangguhkan

Dokumen tersebut berisi email, invoice, kontrak dan transfer bank terkait lebih dari 50 juta profil dengan sebagian besar milik pemilih AS yang terdaftar.

Adapun Facebook pada Jumat lalu, juga menangguhkan Wylie mengakses layanannya. Pada saat kejadian kebocoran data, Wylie bekerja sebagai karyawan CA, tapi Facebook mendeskripsikannya bekerja untuk Eunoia Technologies. Wylie mendirikan perusahaan tersebut setelah meninggalkan CA pada akhir 2014.

Lebih lanjut, bukti yang diberikan Wylie kepada pihak berwenang Inggris dan AS termasuk sebuah surat dari pengacara Facebook kepadanya pada Agustus 2016. Pihak Facebook memintanya untuk menghancurkan semua data yang dikumpulkannya dengan GSR.

Surat tersebut dikirim beberapa bulan setelah The Guardian membuat laporan tentang kebocoran data dan beberapa hari sebelum pengumuman resmi Bannon sebagai manajer kampanye Trump.

"Bagi saya itu adalah hal yang sangat mengherankan. Mereka menunggu dua tahun dan tidak melakukan apa pun untuk memeriksa apakah benar data tersebut sudah dihapus," pungkas Wylie.

Tanggapan Menkominfo

Menkominfo
Menkomonfo Rudiantara di Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Jakarta, Senin (19/3/2018). Liputan6.com/Agustin Setyo Wardani

Menteri Komunikasi Informatika (Menkominfo) Rudiantara ikut bicara soal bocornya puluhan juta data pengguna Facebook yang dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye politik AS pada 2016 lalu.

Rudiantara memperkirakan, tak ada data milik pengguna Facebook di Indonesia yang disalahgunakan.

Kendati demikian, pria berkacamata ini berencana untuk berkoordinasi dengan Facebook guna memastikan bahwa tak ada data pengguna di Indonesia yang ikut bocor.

Rudiantara juga mengungkapkan, Kemkominfo telah menerbitkan Peraturan Menteri Kominfo mengenai perlindungan data pribadi oleh penyelenggara sistem elektronik (PSE) dalam hal ini media sosial, messenger, dan e-Commerce pada akhir 2016.

"Di Indonesia dari sisi aturan pemerintah sudah mengeluarkan peraturan Menteri Kominfo akhir 2016 mengenai perlindungan data pribadi oleh penyelenggara sistem elektronik, Facebook dan media sosial masuk ke PSE itu, yang belum ada UU perlindungan data pribadi," kata Rudiantara.

Pria yang karib disapa Chief RA ini mengatakan, karena belum ada UU perlindungan data pribadi di Indonesia, pihaknya dengan Komisi I DPR RI telah sepakat untuk membuat Panitia Kerja (Panja).

"Pada rapat dengan Komisi I DPR disepakati buat Panja, arahnya nanti ke perlindungan data pribadi," tutur Rudiantara ditemui Tekno Liputan6.com di Kampus Universitas Al-Azhar Indonesia Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Rudiantara juga mengungkapkan pentingnya memiliki UU perlindungan data pribadi bagi Indonesia.

"Perlindungan data secara umum di masing-masing UU itu sudah ada, yang khusus adalah (Undang-undang) perlindungan data pribadi, utamanya terkait perkembangan digital. Karena nanti banyak data-data berseliweran, bagaimana melindungi data pribadi tersebut," pungkas pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PT PLN itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya