Liputan6.com, Mountain View - Kabar kurang mengenakkan datang dari Alphabet. Induk perusahaan dari Google dan YouTube ini menolak proposal yang diminta pegawainya untuk melawan diskriminasi di tempat kerja.
Proposal tersebut merupakan inisiatif dari pegawai Google yang mengajak investor untuk memengaruhi eksekutif Alphabet agar mendorong diversity (keanekaragaman), inklusi, serta kesetaraan upah di tempat kerja bagi perempuan dan minoritas.
Sayangnya, proposal itu ditolak Alphabet pada pertemuan tahunan mereka dengan shareholder. Demikian laporan The Next Web, Jumat (8/6/2018).
Advertisement
Baca Juga
Pegawai Google pun tidak kuasa menahan kekecewaan mereka.
"Di Alphabet, tindak diversity dan inklusi yang didorong para individual selalu mendapat respons tidak beres, termasuk surat peringatan. Efek mengerikan ini telah melukai kultur perusahaan," ucap software engineer Irene Knapp.
Para pegawai tersebut memandang representasi pegawai minoritas di Google masih kurang ideal, meskipun pegawai keturunan Asia di Google sudah cukup banyak, yakni 35 persen.
Tercatat, 90 persen tenaga kerja di Google adalah orang kulit putih atau Asia. Sementara, tenaga kerja kulit hitam, Hispanik, dan minoritas lainnya tidak mencapai angka 10 persen.
Meskipun begitu, Google berjanji akan menambah diversity di antara pegawai mereka pada 2020 mendatang. Langkah ini dapat menambah kesempatan bagi kalangan minoritas untuk bekerja di perusahaan itu.
Awal Proposal
Lelah dengan adanya diskriminasi di kantor, pegawai Google berinisiatif mengajak investor agar mempengaruhi para eksekutif Google.
Dilansir Bloomberg, para pegawai Google menggandeng investor demi mendorong terciptanya diversity (keanekaragaman) di tempat kerja mereka.
Proposal tersebut diberikan pada pertemuan shareholder di Mountain View, California. Lewat agenda ini, mereka menghadirkan rencana terkait diversity dan inklusi kepada Alphabet (induk Google).
Salah satu insinyur Google pendukung agenda ini adalah Liz Fong-Jones.
"Para eksekutif bisa dimotivasi dengan uang. Dibutuhkan adanya sinyal jelas dari para shareholder agar mereka menghargai inklusi," ucapnya.
Fong-Jones menanggap pihak perusahaan belum melakukan tugas mumpuni dalam melawan hal-hal negatif di tempat kerja, seperti pelecehan.
Kekhawatiran kalangan pegawai berkembang semenjak mantan pegawai Google bernama James Damore menuliskan catatan. Menurutnya, secara biologis perempuan tidak secakap laki-laki dalam pekerjaan di sektor teknologi.
Tulisan Damore menghadirkan pro dan kontra, ada yang setuju dan tidak setuju. Namun, ia akhirnya tetap dipecat oleh CEO Google Sundar Pichai.
Advertisement
Pegawai Teknologi Rentan Kena Stres
Tidak hanya menghadapi diskriminasi, pegawai sektor teknologi seperti di Google juga rentan mengalami stres.
Dilansir Business Insider, sebuah aplikasi pesan bernama Blind melakukan survei kerja secara anonim pada lebih dari 11 ribu di 30 perusahaan teknologi terbesar.
Pertanyaan yang diberikan adalah, "Apa saat ini Anda mengalami burnout karena pekerjaan?" Dengan pilihan jawaban "Ya" dan "Tidak".
Hasilnya, secara keseluruhan 57,1 persen pekerja mengaku mengalami burnout. Untuk diketahui, burnout berarti kondisi stres yang membuat kelelahan fisik dan mental.
Lebih dari setengah pegawai di perusahaan-perusahaan terkenal juga mengalami stres, mulai dari Amazon (59,5 persen), Intel (58,4 persen), Microsoft (57,6 persen), Apple (57,4 persen), LinkedIn (55,3 persen), Pinterest (53,85 persen), dan Google (53,83 persen).
Sementara itu, Facebook berada di posisi lima terbawah dengan jumlah pegawai yang stres 49,5 persen, lalu diikuti oleh Twitter (43,9 persen), dan PayPal (41,8 persen).
Lantas siapa yang ada di posisi terakhir? Untuk juru kunci ditempati oleh Netflix dengan jumlah pegawai yang mengalami stres hanya 38,8 persen.
(Tom/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini