5 Teori Sains yang Diterapkan dalam Pemilu 2019

Tahukah kamu, terdapat banyak sekali studi dan juga teori sains terkait pemilu? Hal ini sering diterapkan untuk kampanye maupun dalam praktik pemilihan umum itu sendiri.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Apr 2019, 13:00 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2019, 13:00 WIB
Ilustrasi pemilu
Tata cara pemilu 2019. (Foto: merdeka.com)

Liputan6.com, Jakarta - Hari ini, Rabu (17/4/2019), adalah hari pemilihan umum Presiden dan calon legislatif. Ini adalah hari di mana suara kamu akan menentukan siapa saja yang akan maju menduduki kursi yang diperebutkan secara demokratis.

Namun tahukah kamu, terdapat banyak sekali studi dan juga teori sains terkait pemilu?

Hal ini sering diterapkan untuk kampanye maupun dalam praktik pemilu itu sendiri.

Nah, berikut akan Tekno Liputan6.com ulas beberapa studi elektoral dan teori sains yang menyangkut banyak hal termasuk psikologi dan bidang ilmu pengetahuan lain, yang digunakan untuk mempengaruhi masyarakat dalam memilih calon tertentu di pemilu. Berikut ulasannya seperti dilansir dari Listverse via Merdeka.

* Ikuti Hitung Cepat atau Quick Count Hasil Pilpres 2019 dan Pemilu 2019 di sini

1. Partisipasi Rendah Adalah Momok

Liputan 6 default 3
Ilustraasi foto Liputan 6

Media dan juga para calon legislatif seringkali menyuruh para pemilih untuk mencoblos karena jika tidak, tingkat pertisipasi akan rendah, sehingga calon tertentu akan menang atau kalah.

Namun hal ini ternyata salah. Sebuah studi dari Stanford Business, punya konklusi yang menyebut bahwa tingkat partisipasi rendah dan menekan pemilih untuk tidak golput justru membuatnya malas.

Alih-alih, menyebutkan bahwa jumlah pemilih akan tinggi justru membuat mereka yang berniat golput justru semangat nyoblos.

Taktik ini disebut akan efektif bagi para pemilih yang tidak terlalu perhatian dengan politik. Menurut para peneliti, hal ini terjadi karena sifat manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang tindakannya terpengaruh perilaku orang lain. Ini adalah "bandwagon effect" atau sederhananya adalah efek ikut-ikutan.

2. Framing Effect

pemilu-ilustrasi-131024c.jpg
Ilustrasi pemilih surat suara.

Mungkin ini adalah praktik yang paling sering digunakan dalam dunia politik. Ini adalah pola berkomunikasi di mana seseorang menggambarkan sesuatu dalam bingkai (frame) yang ia buat sendiri.

Aplikasinya dalam dunia politik pernah dicoba dilakukan dalam sebuah penelitian yang dihelat para akademisi di Stanford. Ratusan partisipan dibagi dua kelompok, lalu diminta membaca sebuah paragraf pendek yang pada dasarnya memiliki cerita yang sama.

Paragraf tersebut menceritakan tentang sebuah kota yang diserang binatang. Perbedaannya, kelompok pertama tertulis penyerangnya adalah binatang buas, yang kedua penyerangnya adalah hama.

Jika kita pikirkan, tentu ini hanya sekedar pemilihan diksi yang berbeda, tapi memiliki objek yang sama. Namun, hasilnya di pembaca ternyata berbeda.

Tanggapan partisipan terhadap solusi ternyata berubah drastis tergantung bacaan mana yang ia baca. 71 persen menyerukan penegakan hukum ketika membaca soal binatang buas, tapi turun ke 54 persen ketika membaca soal hama.

Pembingkaian ini bisa dibilang sering digunakan untuk mendistorsi suatu fakta untuk terlihat seakan-akan lebih buruk.

Contohnya, kebijakan pro-imigrasi paling sering dibingkai sebagai ancaman karena lapangan kerja bagi warga negara asli akan terancam.

3. Kita Takut 'Ketahuan' Golput

Ilustrasi Pemilu 1(Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi Pemilu 1(Liputan6.com/M.Iqbal)

Golput memang salah satu pilihan dalam demokrasi. Lepas dari beberapa orang atau komunitas yang menyuarakan absennya mereka dalam pemilu, studi ini memperlihatkan kalau kita sebenarnya malu untuk dianggap Golput.

Dalam studi yang dihelat menjelang pemilu 2012 di AS oleh tiga periset dari Harvard University, para periset mengirimi 700.000 orang calon pemilih sebuah surat.

Surat ini terbagi dua, pertama adalah surat yang mendorong mereka untuk nyoblos, dan kedua adalah surat yang sama namun ada sedikit kejutan.

Terdapat tulisan "Kami akan meneleponmu pasca pemilu untuk ngobrol-ngobrol soal pengalaman nyoblosmu."

Surat dengan jenis kedua ternyata tiga kali lebih efektif ketimbang surat biasa tanpa 'kejutan'.

Hal ini disebut oleh para periset sebagai "keprihatinan terhadap reputasi diri." Ini merupakan gagasan di mana seseorang akan lebih terdorong melakukan sesuatu ketika mereka diamati. Dengan kata lain, orang-orang ini takut dicap sebagai golput.

4. Kata Kerja vs Kata Benda

132 TPS di Jakarta Utara Diprediksi Tidak Aman
Ilustrasi: Persiapan Pemilu

Dalam sebuah studi yang dihelat oleh para periset dari Department of Psychology di Stanford University, disebut bahwa seseorang cenderung akan berangkat nyoblos ketika mereka melihat pemilu sebagai sesuatu yang "mulia," dan kontribusi mereka dibutuhkan.

Salah satu cara kampanye untuk membuat setiap calon pemilih merasa spesial adalah menyebut mereka dengan kata benda (noun) ketimbang kata kerja (verbs).

Dalam riset mereka, partisipan dibagi ke dalam dua kelompok. Keduanya diberi pertanyaan soal apakah mereka akan berangkat nyoblos.

Pertanyaan kelompok pertama menyebut partisipan sebagai "voter" atau "pemilih."

Pertanyaannya kurang lebih: Seberapa penting bagi Anda untuk menjadi pemilih dalam pemilu mendatang?

Pertanyaan kelompok kedua tidak menyebutkan adanya kata ganti bagi para partisipan. Hanya ada satu kata kerja yang merepresentasikan memilih atau nyoblos.

Pertanyaannya kurang lebih: Seberapa penting nyoblos di pemilu mendatang bagi Anda?

Terbukti, minat mendaftar menjadi calon pemilih meningkat setelah partisipan dirujuk menggunakan kata "pemilih".

Hal ini disebut periset memberikan pesan implisit para mereka kalau mereka menjadi salah satu bagian dari pemilihan umum, dan hal ini adalah sesuatu yang berbudi luhur.

5. Kampanye Negatif

Ilustrasi Pemilu 2019
Badut berbentuk kotak suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), ondel-ondel, dan marching band ikut meramaikan pawai Deklarasi Kampanye Damai di Monas, Minggu (23/9). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Kita sebagai pemilih tentu benci iklan yang berbau negative campaign. Terlebih lagi black campaign yang menyudutkan salah satu paslon dan mengandung unsur hoax.

Meski demikian, negative  campaign adalah tipe kampanye yang paling sering kita lihat. Mengapa? Karena jenis kampanye ini berhasil.

Ranah psikologi menggelongkan negative campaign sebagai "bias negatif." Hal mengacu pada kecenderungan seseorang untuk secara selektif mengingat informasi negatif dan membiarkan emosi negatif tersebut mendominasi pengambilan keputusan.

Seorang profesor ilmu politik dan juga ahli psikologi plitik di Stanford University bernama Jon Krosnick, menyebut bahwa "jika Anda tidak menyukai satu dari dua kandidat, maka Anda akan sangat termotivasi untuk berpartisipasi nyoblos."

Hal ini dimanfaatkan oleh paslon, menggunakan framing yang telah kita bahas di poin awal, untuk meletakkan kompetitor di posisi yang akan dibenci oleh sebagian pemilih. Hal ini sangat lazim dan praktiknya sangat efektif.

Reporter: Indra Cahya

Sumber: Merdeka.com

(Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya