Liputan6.com, Jakarta - Penjualan data pribadi seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK) tak dimungkiri masih terjadi di Indonesia.
Pantauan Tekno Liputan6.com, penjualan semacam ini bahkan tengah marak dan terang-terangan dilakukan di media sosial.
Menyoal masih maraknya aksi tersebut, pakar keamanan siber Pratama Persadha menuturkan hal ini sebenarnya memang tidak boleh terjadi. Namun, saat ini regulasi yang mengatur memang masih abu-abu.
Advertisement
Kendati demikian, bukan berarti tidak ada regulasi sama sekali. Dia mengatakan perlindungan data pribadi secara umum sudah diatur dalam UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 199 tentang HAM, dan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Baca Juga
"Pemerintah sedang mempersiapkan regulasi perlindungan data pribadi yang tertuang dalam UU Perlindungan Data Pribadi," ujar Pratama saat dihubungi Tekno Liputan6.com, Sabtu (27/7/2019).
Selain itu, ada pula Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik (PDPSE) yang ditetapkan pada 7 November 2016.
"RUU Perlindungan Data Pribadi saat ini sudah berada di Sekretariat Negara sebelum disahkan oleh DPR. Definisi data pribadi diperjelas dalam salah satu pasal di RUU PDP," tutur Pratama lebih lanjut.
Pratama juga menyarankan agar masyarakat tidak mudah mengunggah KTP dan KK miliknya, kecuali benar-benar dibutuhkan. Alasannya, sebagian besar layanan di internet tidak memerlukan NIK dan KK.
"Bila menemukan pesan atau aplikasi yang meminta mengupload data NIK dan KK sebaiknya memang harus waspada," ujarnya mengakhiri pembicaraan.
Pengguna Media Sosial di Indonesia Sering Berbagi Data Pribadi!
Sebelumnya, hasil riset juga menunjukkan bahwa pengguna media sosial memang terlalu mudah berbagi data pribadi di internet.
Detail seperti lokasi, tempat liburan atau data pribadi lainnya dibagikan, membuat mereka rentan terhadap penjahat siber atau lebih buruk.
Berdasarkan survei ESET, 79 persen responden melakukan beberapa bentuk pemeriksaan sebelum mengobrol dengan orang asing atau tidak mengobrol sama sekali dengan mereka.
Namun, ini berarti bahwa 21 persen responden melakukan obrolan bebas dengan orang asing di media sosial, membuka diri terhadap kemungkinan kasus pencurian identitas.
Lebih buruk lagi, 31 persen responden mengungkapkan bahwa mereka telah berbagi informasi pribadi dengan orang asing di media sosial
Dengan cara itu, informasi pribadi yang diperoleh dapat membantu penjahat siber melakukan pencurian identitas atau melakukan social engineering dengan target orang-orang terdekat korban.
Advertisement
Berpengaruh pada Orang Terdekat
Hal ini tidak hanya memengaruhi pengguna yang terlibat, tetapi juga teman dekat dan keluarga mereka.
Jika sebanyak 31 persen responden telah berbagi informasi pribadi dengan orang asing, berarti ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk mendidik masyarakat tentang bahaya berbagi informasi secara berlebihan di media sosial serta sejauh mana dampak kerusakan yang ditimbulkannya.
"Dengan peningkatan akses internet, orang menghabiskan lebih banyak waktu online. Tapi sangat mengkhawatirkan melihat banyak pengguna internet di wilayah APAC masih ada yang berbagi informasi secara sukarela pada orang asing," ungkap Yudhi Kukuh IT Security Consultant PT Prosperita-ESET Indonesia, melalui keterangannya, Minggu (23/6/2019).
"Belum lagi masalah yang sama yang selalu terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun, yaitu praktik penggunaan kata sandi yang sama pada setiap akun media sosial atau finansial. Oleh karena itu, diperlukannya kesadaran untuk meningkatkan praktik keamanan dan privasi terbaik untuk memastikan bahwa semua orang aman secara online,” tuturnya.
(Dam/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: