Migrasi TV Analog ke Digital Selesai 2022

Analog switch off (ASO) atau penghentian siaran analog akan diselesaikan paling lambat dua tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.

oleh Andina Librianty diperbarui 15 Okt 2020, 16:46 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2020, 16:46 WIB
Ilustrasi televisi (iStock)
Ilustrasi televisi (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Analog switch off (ASO) atau penghentian siaran analog akan diselesaikan paling lambat dua tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. DPR RI pada Senin (5/10/2020) telah mengesahkan UU tersebut.

Hal ini sekaligus menetapkan bahwa ASO tidak harus menunggu UU Penyiaran baru, yang hingga kini belum juga selesai. Jika menunggu sampai dua tahun, maka penghentian siaran analog akan selesai pada 2022.

"ASO ini ditetapkan di PP tidak bisa, tapi UU Penyiaran baru juga belum juga selesai. Karena gagal terus, maka dititipkan untuk ASO ini Omnibus Law pasal 60A. Berkahnya di situ, negara diberikan kewenangan untuk melakukan ASO," ungkap staf ahli Menkominfo, Henri Subiakto, kepada tim Tekno Liputan6.com (15/10/2020).

Dalam pasal 60A ayat 1 disebutkan penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital.

Kemudian pada pasal 2 tertulis, migrasi penyiaran televisi terrestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat dua tahun sejak mulai berlakunya UU Cipta Kerja.

Henri mengatakan saat ini pemerintah sedang membuat sejumlah rencana untuk membantu proses migrasi tersebut, termasuk Peraturan Menteri (Permen). Sementara itu, menurutnya, industri memberikan respons positif terhadap proses ASO tersebut.

"Mereka (penyelenggaran siaran TV) baik-baik saja, karena mereka juga sudah lama sekali mempersiapkan untuk transisi," tuturnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Subsidi untuk Masyarakat

Ilustrasi
Ilustrasi menonton televisi. (dok. unsplash.com/Asnida Riani)

Pengamat telekomunikasi, Nonot Harsono, mengatakan bahwa selain masa transisi ini, hal lain yang harus diperhatikan adalah mekanismenya.

Ia berharap jika memang nanti penyiaran terresterial secara simulcast atau analog dan digital bersamaan terlaksana, maka tidak dilakukan terlalu lama.

"Simulcast ini tidak boleh berlama-lama. Jika berdasarkan survei, lebih banyak jumlah TV di rumah sudah ada channel digital, maka langsung digital saja semua. Artinya yang tidak mendapatkan siaran kan jumlahnya sedikit, maka pemerintah bisa memberikan subsidi misalnya berupa TV baru," jelas Nonot.

Subsidi tersebut, katanya, bisa diambil dari penghematan yang didapatkan pemerintah atas digitalisasi penyiaran tersebut.

"Artinya, keuntungan ASO bisa dipakai untuk subsidi," tuturnya.

 


Keuntungan Digitalisasi Penyiaran

Lebih lanjut, Henri mengatakan ada sejumlah keuntungan yang bisa didapatkan negara dan masyarakat dari digitalisasi penyiaran ini.

Akan ada digital deviden untuk memenuhi kebutuhan broadband Indonesia, termasuk kebutuhkan broadband sebesar 1.310 MHz lima tahun yang akan datang.

Indonesia diklaim akan segera merdeka dari blank spot. Melaluai penataan frekuensi 700 MHz yang selama berpuluh tahun dipakai oleh TV analog, negara akan memperoleh broadband baru, untuk melayani wilayah blank spot di berbagai daerah.

Selain itu, operator seluler akan segera bisa membangun jaringan untuk berbagai daerah yang masih blank spot dan lemot, dengan menggunakan frekuensi 700 Mhz yang selama ini kurang termanfaatkan secara optimal untuk kehidupan digital.

Frekuensi 700 MHz merupakan frekuensi terbaik yg seluruh dunia mengupayakan untuk perkembangan digital termasuk pengembangan 5G dan industri 4.0.

Dari sisi penghematan, kata Henri, teknologi analog memerlukan 8MHz per satu televisi, sedangkan teknologi digital dengan lebar pita yang sama bisa dipakai oleh 9 hingga 12. Sementara itu, lebar pita 10MHz bisa digunakan mengakses internet oleh ratusan ribu orang.

"Oleh karena itu, negara harus menata ulang frekuensi tersebut. Melalui digitalisasi, 8MHz bisa dipakai 9-12 TV sehingga akan ada efisiensi dan menyebabkan digital deviden, yang diberikan kepada negara untuk broadband baru (sisa slot frekuensi)," kata Henri.

ASO akan berdampak pada penghematan pita frekuensi 700 MHz dan penghematan (digital deviden) 112 MHz sebagai frekuensi sangat ideal untuk transformasi digital nasional, pendidikan, dan hal darurat. Total, saat ini 328 MHz digunakan untuk siaran TV analog.

Manfaat ekonomi bagi Indonesia berupa penambahan kenaikan PDB, lapangan kerja baru, peluang usaha baru, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

(Din/Isk)

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya