Indonesian Digital Association Gelar Webinar Seputar RUU Perlindungan Data Pribadi

Indonesian Digital Association Gelar menggelar Webinar Seputar RUU Perlindungan Data Pribadi dan bagaimana pelaku bisnis digital perlu menyikapinya.

oleh Agustin Setyo Wardani diperbarui 09 Nov 2020, 19:58 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2020, 19:58 WIB
Ilustrasi data pribadi
Ilustrasi data pribadi. Dok: betanews.co

Liputan6.com, Jakarta - Indonesian Digital Association (IDA) menggelar webinar seputar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dan kaitannya dengan bisnis digital di Tanah Air.

Ketua IDA, Dian Gemiano mengatakan, diadakannya webinar ini seiring dengan Indonesia yang baru akan memiliki regulasi mengenai perlindungan data pribadi.

Pada gilirannya, aturan ini juga akan berdampak pada industri secara keseluruhan dan periklanan digital karena area digital akan terkait erat dengan privasi data.

Apalagi, menurut Dian, Google belum lama ini mengumumkan akan menghilangkan third party cookies di Chrome yang kemudian akan mengurangi kapabilitas periklanan Google.

Padahal, menurutnya pengguna Chrome di Indonesia mencapai angka 77,5 persen dari seluruh pengguna internet.

Keputusan Google ini didorong oleh kebijakan privasi data perusahaan, juga terkait dengan aturan perlindungan data yang diterapkan oleh negara-negara Eropa dan Amerika.

"Penting bagi pelaku industri digital mengerti bagaimana praktik bisnis bisa mematuhi peraturan data pribadi yang ada di industri, meskipun saat ini masih berbentuk rancangan undang-undang (RUU)," katanya.

Webinar ini pun menghadirkan narasumber Chairman Asosiasi Big Data dan AI Indonesia Rudi Rusdiah, Founder dan CEO Kontrak Hukum Rieke Caroline, dan Co-Founder dan CEO GetPlus Adrian Hoon.

Menurut Rudi, aturan mengenai perlindungan data pribadi hadir karena Indonesia diharuskan menjaga kedaulatan data. Mengingat berkembangnya penggunaan internet yang tanpa batas, RUU PDP, perlu diselesaikan secepatnya.

Tujuan dari aturan ini adalah agar privasi data masyarakat dapat terlindungi. Namun, aturan ini juga membuat para pelaku bisnis digital sebagai data collector dan data processor perlu berhati-hati dalam mengumpulkan atau memanfaatkan data milik para pelanggan.

Pelaku Bisnis Digital Harus Patuhi RUU PDP

Ilustrasi data pribadi, perlindungan data pribadi, privasi pengguna.
Ilustrasi data pribadi, perlindungan data pribadi, privasi pengguna. Kredit: Tayeb MEZAHDIA via Pixabay

"Yang perlu diperhatikan, di GDPR (aturan perlindungan data di Uni Eropa) ada sifat free flow of data cross border agar bisa bertransaksi dengan masyarakat di Eropa, namun sebagai pelaku bisnis digital harus hati-hati, karena ketika bicara cookies itu adalah bentuk data mining," katanya.

Karena data dianggap personal, terdapat teknik psuedonymisation yakni, upaya mengganti data-data pribadi yang masih bisa mengidentifikasi si pemilik data dengan kode atau nomor tertentu.

Rudi mengatakan, untuk memastikan agar data pengguna tidak bocor, ketika data controller mau mentransfer datanya ke pihak lain harus membuatnya tetap anonim.

"Kalau nanti UU sudah ada, pelaku bisnis digital harus memperhatikan untuk melakukan pseudonymisation, di mana data controller perlu memperhatikan privasi si pemilik data," katanya.

Selain itu, menurut Rudi, sebelum mengumpulkan data pengguna, data controller juga perlu memberitahu apa tujuan data dikumpulkan.

Begitu juga dengan upaya keamanan yang perlu dilakukan, karena ketika ada pelanggaran data (data breach), regulator bisa menerapkan sanksi. Kendati demikian, di RUU PDP saat ini belum ada sanksi untuk kasus data breach.

Soal Masa Retensi Data dan Sanksi

Alasan Risiko Kehilangan Data Perempuan Lebih Tinggi dari Pria
Data Pribadi (enisa.europa.eu)

Pelaku bisnis juga perlu memberi tahu ke pengguna terkait berapa lama data disimpan dan mawas diri bahwa pemilik data bisa punya akses untuk mengubah datanya.

"Selain itu, di RUU DPD juga ada masa retensi, di mana ketika data sudah habis masa retensinya data controller harus menghapusnya," kata Rudi.

Bicara soal denda, para pelaku bisnis digital juga perlu mengetahui tentang sanksi dari RUU PDP. Di Indonesia sendiri diterapkan sanksi administrasi, denda, hingga pidana.

"RUU PDP harus diperhatikan juga karena masalah sanksi pidana yang memberatkan. Sementara, di EU sanksinya hanya administratif," kata dia.

Senada, Founder dan CEO Kontrak Hukum Rieke Caroline mengatakan, ketika RUU PDP diberlakukan, para pelaku bisnis digital yang menjadi data controller perlu memberi tahu tujuan dan aktivitas pemrosesan data kepada pengguna.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan menurutnya adalah data controller perlu memusnahkan data ketika masa retensi berakhir.

"Data controller harus bertanggung jawab dengan memenuhi pelaksaaan prinsip perlindungan data pribadi," katanya.

(Tin/Ysl)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya