IDA Gelar Webinar Bahas Penghentian Dukungan Third Party Cookies di Google Chrome

Dalam webinar ini, IDA menghadirkan Head of Chrome and Web Partnerships Monisha Varadan dan Head of APAC Privacy GTM Jessica Martin.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 03 Des 2020, 15:25 WIB
Diterbitkan 03 Des 2020, 15:25 WIB
Tampilan baru Google Chrome
Tampilan baru Google Chrome (Foto: The Next Web)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Digital Association (IDA) kembali menggelar webinar. Kali ini, pembahasan dalam webinar ini menyoroti berhentinya dukungan third party cookies yang dilakukan oleh Google Chrome.

Dalam webinar bertajuk, "Third Party Cookies Sunsets: The Reason Why and What Rises After" ini, IDA menghadirkan Head of Chrome and Web Partnerships Monisha Varadan dan Head of APAC Privacy GTM Jessica Martin sebagai pembicara.

Lewat webinar tersebut, Jessica menjelaskan alasan Google menghentikan dukungan third party cookies yang ada di Chrome. Menurutnya, keputusan ini diambil mengingat ada kekhawatiran mengenai privasi data pengguna apabila third party cookies dilanjutkan.

Hal itu didukung pula oleh sejumlah regulasi yang mengatur tentang privasi data di seluruh dunia.

"Saat ini, sejumlah regulasi sudah mengatur mengenai cara data dikumpulkan dan digunakan," tuturnya dalam webinar yang digelar, Kamis (3/12/2020).

Di sisi lain, pengguna kini juga meminta transparansi dan kontrol atas data milik mereka. Karenanya, ekosistem saat ini sudah mulai berbenah untuk mengakomodasi hal tersebut.

Selain Chrome, Jessica menuturkan sejumlah browser lain juga sudah melakukan hal serupa. Kendati demikian, Google tidak langsung menghentikan third party cookies tanpa menghadirkan solusi lain.

Untuk itu, kini Google tengah menyiapkan inisiatif baru yang diberi nama Privacy Sandbox di Chrome. Lewat inisiatif baru ini, perusahaan ingin menciptakan ekosistem web yang menghormati privasi pengguna.

Sebagai informasi, perubahan ini rencananya akan dilakukan dalam dua tahun ke depan. Oleh sebab itu, Monisha mengatakan pengiklan maupun penerbit harus bersiap dengan era baru ini.

"Kami tidak membuat perubahan yang tiba-tiba. Jadi, kami memberikan waktu. Kami juga sedang menyiapkan solusi terbaru sebagai pengganti dan terbuka juga terhadap masukan dari banyak pihak," tuturnya menjelaskan.

Indonesian Digital Association Tanggapi Dampak RUU PDP untuk Bagi Bisnis

Alasan Risiko Kehilangan Data Perempuan Lebih Tinggi dari Pria
Data Pribadi (enisa.europa.eu)

Bulan lalu, Indonesian Digital Association (IDA) juga baru saja menggelar webinar mengenai RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) serta berbagai dampaknya bagi industri bisnis digital di Tanah Air.

Pasalnya, dalam RUU PDP, perusahaan digital sebagai data controller ataupun data processor diatur dengan berbagai aturan hukum dan ancaman sanksi baik itu administratif, denda, sampai ke pidana.

Lantas, bagaimana IDA sebagai asosiasi bisnis digital di Indonesia menyikapi RUU PDP yang dijanjikan pemerintah akan disahkan menjadi UU PDP?

Ketua IDA, Dian Gemiano, pun memberikan tanggapannya. Menurutnya dalam konteks bisnis, pasal-pasal yang mengatur tata kelola pengumpulan, pemrosesan, dan penggunaan data pribadi perlu disambut baik oleh pelaku industri. Pasalnya, kini ada aturan yang jelas untuk diikuti.

Apalagi, aturan-aturan tersebut juga melindungi pelaku usaha dari pelanggaran data.

"Aturan-aturan tersebut juga akan melindungi pemilik usaha dari gangguan para pelaku data fraud yang sering merugikan pelaku usaha yang legitimate," kata pria yang karib disapa Gemi, kepada Liputan6.com, Selasa (10/11/2020).

Sementara, menyikapi sanksi atas pelanggaran yang ada di draft RUU PDP, menurutnya perlu ditinjau.

Sanksi Perlu Ditinjau Kembali

"Terkait sanksi pelanggaran yang ada dalam draft RUU PDP, seperti disampaikan Pak Rudi Rusdiah dari ABDI, memang harus di-review kembali agar tidak menyamaratakan institusi bisnis, sehingga industrinya bisa tetap bertumbuh dengan sehat terutama untuk usaha-usaha rintisan," kata Gemi.

Ia pun membandingkan RUU PDP dengan regulasi perlindungan data di California, Amerika Serikat, CCPA (California Consumer Privacy Act).

"Misalnya seperti CCPA di California yang membuat enforcement threshold (penegakan hukum) hanya untuk usaha-usaha dengan pendapatan tahunan di atas USD 25 juta. Secara umum para pelaku usaha digital yang sudah established akan menyesuaikan cara beroperasi dengan peraturan yang ada," katanya.

Ia pun mengatakan, nantinya memang akan ada learning curve yang harus dilalui terkait investasi teknologi, akuisisi talent yang relevan ataupun edukasi terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam industri. Namun menurutnya, nantinya pelaku bisnis akan menemukan titik keseimbangan ideal dengan RUU PDP.

"Mestinya kita juga tidak belajar dari nol karena kita bisa belajar dari negara-negara yang sudah lebih dulu mengadopsi UU seperti ini," katanya.

Terlepas dari hal-hal di atas, Gemi mengatakan, UU PDP diharapkan dapat menciptakan level playing fields yang adil antara pelaku usaha lokal Indonesia dengan pelaku usaha global yang kemampuan pengelolaan data pribadinya sudah jauh lebih mumpuni karena jangkauan bisnis mereka yang sangat luas.

"Jadi pelaku usaha digital lokal harus bekerja sama terlibat dalam pengawalan perancangan dan pelaksanaan UU PDP ini," katanya.

(Dam/Isk)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya