Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah kalangan menilai, pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar online dengan tidak adanya pembelajaran tatap muka di tengah pandemi, dikhawatirkan akan berdampak negatif.
Pemerintah sendiri melihat ada tiga kategori dampak negatif dari pembelajaran jarak jauh. Pertama adalah pelajar terancam putus sekolah, di mana anak terpaksa bekerja membantu orangtua yang terdampak pandemi. Ada juga orang tua yang tidak melihat peran guru kalau tidak ada pembelajaran tatap muka.
Baca Juga
Kedua adalah kendala tumbuh kembang anak. Mulai dari adanya kesenjangan capaian belajar anak, ketidakoptimalan pertumbuhan (terutama di usia-usia emas seperti PAUD), HINGGA kekhawatiran adanya risiko learning loss.
Advertisement
Lalu ketiga, pembelajaran jarak jauh dikhawatirkan akan berdampak pada tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga. Anak juga mudah stres karena tidak dapat berinteraksi dengan guru, teman, dan lingkungannya.
Tanpa sekolah tatap muka juga banyak anak yang terjebak kekerasan dalam rumah tangga yang tidak diketahui oleh guru.
Pun demikian, menurut pengakuan Rifal Rinaldi, salah seorang guru di SMA YWKA Bandung, secara keseluruhan yang ia lihat adalah capaian akademis tidak ada penurunan signifikan.
"Nilai para siswa didik tidak jeblok bila dibandingkan dengan sebelum pandemi. Penurunan nilai tidak terjadi secara signifikan," ungkap Rifal, dikutip dari acara bincang-bincang 'Tantangan Belajar Online Bagi Guru dan Orangtua', Kamis (28/1/2021).
Hal itu membuktikan bahwa sebenarnya siswa dapat beradaptasi dengan kondisi PJJ ini.
Memang diakuinya, ada dampak lain yang muncul dengan adanya belajar online yang bukan berkenaan dengan nilai. Tapi lebih pada karakter siswa.
"Ada penurunan respect atau rasa hormat siswa terhadap gurunya karena memang kuantitas pertemuan yang sangat minim. Hal ini kemudian yang membuat kami sering 'kehilangan' fokus siswa saat belajar online," ucapnya menambahkan.
Â
Komentar Orangtua
Hal itu juga dirasakan oleh Meilin, orangtua siswa SMP di Jakarta Timur. Menurutnya, sekolah dalam proses pembelajaran jarak jauh itu dapat memberikan motivasi pada murid agar tidak malas belajar dan tidak membosankan.
"Saya melihat anak saya tambah malas, malah ibunya yang tambah rajin, tambah pintar. Kalau pun ada kelas virtual, tidak sepenuhnya anak itu fokus mengikuti pelajaran. Terkadang sibuk dengan ponselnya sehingga kurang memperhatikan guru yang sedang menjelaskan," ungkap Meilin.
Ia menambahkan, sering kali putri nya malas untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Sampai dirinya sering mendapatkan teguran dari wali kelas karena putrinya belum menyerahkan tugas.
"Setelah dapat teguran, baru deh, anak saya mengerjakan tugasnya. Kadang bertumpuk sampai 4-5 tugas," cerita Meilin.
Ia berharap, selama pembelajaran jarak jauh, guru dapat memberikan materi pelajaran dengan lebih interaktif dan tidak membuat bosan sehingga siswa dapat lebih bersemangat dan fokus ketika belajar.
Hal senada disampaikan Rifal, yang mana sebagai guru dirinya sudah berusaha maksimal agar siswa memperhatikan materi yang diajarkan. Namun, tetap sulit untuk bisa mendisiplinkan siswa ketika melakukan pembelajaran secara virtual.
Rifal juga menambahkan sekitar 60 persen siswa yang melakukan pembelaran jarak jauh tidak fokus, seperti yang dikeluhkan oleh Meilin. Walau demikian, guru juga terus mencari formula yang tepat agar siswa bertambah fokus dan maksimal dalam belajar online.
Advertisement
Guru dan Orangtua Harus Re-orientasi
Menurut Maryam Mursadi, Head of Academic dari Kelas Pintar, memang dampak negatif dari pembelajaran jarak jauh tidak bisa dihindari.
“Kondisi sarana dan prasarana yang tidak merata di setiap daerah, juga menjadi penyebab munculnya dampak negatif tersebut," ujarnya.
Yang terpenting, menurut Maryam, guru dan orangtua harus re-orientasi tentang pembelajaran jarak jauh. Guru dan orangtua juga harus paham bahwa aktivitas belajar online tidak sama dengan pembelajaran tatap muka, bahkan sangat berbeda. "Ketika guru mengajarkan materi secara virtual, tidak semua siswa dapat memahami. Mungkin hanya 30 persen saja yang dipahami, bisa karena koneksi yang terputus atau sebab lainnya dan tidak bisa masuk lagi dalam kelas virtual," ungkapnya.
Maryam memberikan saran guru dapat mengarahkan siswa untuk mempelajari materi yang ada dalam Kelas Pintar sesuai dengan pelajaran dan kelasnya. Baik itu yang berbentuk ebook, animasi atau video yang berisikan materi pelajaran yang diberikan oleh guru.
Dengan demikian, siswa dapat mencapai pemahamannya secara utuh dengan belajar mandiri melalui konten yang ada di dalam Kelas Pintar.
"Ini yang kami sebut dengan Scaffolding, di mana anak belajar bukan hanya dari satu sumber (dari guru saja), tetapi bisa juga dari teman, orangtua, dan sumber lainnya," ujar Maryam.
(Isk/Why)
Â