Rekomendasi SAFEnet Soal Permen Kemkominfo No 5 Tahun 2020

SAFEnet memberikan sejumlah rekomendasi pada Menteri Kemkominfo setelah melakukan analisa hukum soal Permen Kemkominfo No. 5 Tahun 2020.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 28 Apr 2021, 20:26 WIB
Diterbitkan 28 Apr 2021, 20:26 WIB
Ilustrasi penggunaan internet
Kepraktisan internet membuat penggunanya jadi lebih mudah untuk mengakses segala informasi

Liputan6.com, Jakarta - Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) diketahui telah mengundangkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Kehadiran Permen ini, menurut Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, dapat mengancam situasi kebebasan berekspresi di Indonesia. Alasannya, Kemkominfo diberi wewenang berlebih, mulai dari hulu ke hilir terkait dengan internet di Indonesia.

Untuk hulunya sendiri, Damar menuturkan, Kemkominfo dapat memblokir PSE privat yang tidak mendaftar dan hal ini membuat Indonesia menjadi lebih represif. Untuk diketahui, salah satu regulasi yang diatur dalam Permen ini adalah PSE lingkup publik wajib mendaftarkan dirinya dan mendapatkan sertifikat dari Kemkominfo agar dapat menghadirkan layanannya.

Sementara untuk hilir, salah satu yang menjadi perhatian SAFEnet adalah isi permen yang memungkinkan Kemkominfo memblokir atau menurunkan konten yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Padahal, menurut Damar, Permen itu tidak menjelaskan lebih lanjut tentang persyaratan sebuah konten dianggap mengganggu ketertiban umum.

"Dari dua hal ini, kami menangkap kesan aturan ini tidak lahir dari dasar penghormatan pada kebebasan berekspresi, tapi untuk mengontrol internet secara berlebihan," ujar Damar saat bertemu dengan awak media secara virtual, Rabu (28/4/2021).

SAFEnet pun juga sudah melakukan analisa hukum terkait Permen Kemkominfo No. 5 Tahun 2020. Hasil analisa itu pun dilanjutkan dalam bentuk rekomendasi untuk Menteri Kemkominfo yang dijabarkan dalam beberapa poin sebagai berikut:

  • Menata legislasi dan regulasi apabila ketentuan pokok dan mendasarnya belum cukup maupun utuh mengatur, dalam hal ini adalah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Terlebih, aturan saat ini masih tersebar luas, dan tidak begitu jelas dipahami lingkup tanggung jawabnya. Untuk itu, diperlukan penataan yang lebih komprehensif dan protektif.
  • Diharapkan upaya progresif Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dapat, sebab dapat menjadi pijakan bersama menentukan arah perubahannya. Mulai dari menegaskan prinsip-prinsip, mekanisme, prosedur, saluran komplain atas pembatasan yang dilakukan, mengingat urgensi atas cakupan dan levelnya perlu pula penegasan legislasinya.
  • Pemerintah perlu pula memastikan perlindungan hak privasi atau pribadi, termasuk dalam lingkup PSE Privat, sehingga aturan yang terintegral terkait Undang-Undang perlindungan data pribadi dapat menjadi induk pengaturan.
  • Perlu pula memastikan keterlibatan publik dalam pengembangan kebijakan atau pembentukan hukum perundang-undangan terkait. Kendati, produk hukum itu bagian dari wewenang pilar eksekutif.

SAFEnet Kritik Permen Kemkominfo No. 5 Tahun 2020

Ilustrasi Internet
Ilustrasi Internet (sumber: iStockphoto)

Untuk diketahui, SAFEnet telah melakukan analisis hukum mengenai Permen Kemkominfo No. 5 Tahun 2020 ini bersama ahli hukum, Herlambang Wiratraman. Berdasarkan analisis tersebut, ada beberapa hal yang menjadi catatan SAFEnet.

1. Substansi Permen Kemkominfo No. 5 Tahun 2020 mengandung materi muatan yang mencakup pengaturan hak-hak digital, termasuk pembatasannya. Mengingat berkaitan dengan hak privasi, maka jelas :

(a) sesungguhnya substansi atau muatannya tersebut melampaui batasan yang diberikan dalam UU 12/2011, karena seharusnya materi muatan Permen Kemkominfo sebatas dalam rangka 'penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan'.

(b) bentuk nyata dari kesewenang-wenangan dalam pembentukan hukum dan berdampak pada potensi pelanggaran hak-hak dasar atau hak-hak asasi manusia yang dilegalkan.

2. Ketentuan dalam Permen Kemkominfo ini mengandung muatan yang justru berpotensi bertentangan dengan pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Terlebih, aturan ini menempatkan kedudukan data pribadi dalam PSE privat begitu mudah diakses oleh kepentingan otoritas. Padahal, saat ini belum ada pengawasan yang indenpenden mengenai cara memperoleh akses data pribadi oleh otoritas.

Selain itu, dalam praktiknya, kerap dijumpai penyalahgunaan data pribadi, terlebih oleh aparat hukum birokrasi dan penegakan hukum.

3. Three part test belum diatur ketat dalam mekanisme hukum di Permen ini, sehingga membuka ruang pelanggaran hak-hak asasi manusia, khususnya hak privasi.

4. Dalam Permen ini, ditemukan 65 kata kunci 'pemutusan akses', baik yang dimaknakan sebagai access bloking maupun take down.

SAFEnet merasa hal ini menandakan setidaknya ada potensi pembatasan hak atau kebebasan, dan sangat mungkin mengganggu kepentingan PSE privat. Terlebih, jika hal itu tidak dilakukan dengan alasan yang sah dan proporsional.

Soal standar pemutusan akses juga perlu dilihat mendalam sejauh mana pemberian jaminan perlindungan hak, termasuk ada atau tidaknya mekanisme memadai untuk mengajukan komplain. 

Catatan SAFEnet Lainnya

5. Frasa 'dilarang' pada Pasal 9 ayat 3 dan 4 dalam permen ini juga memiliki jangkauan yang bisa teramat luas dan penafsirannya membuka ruang perdebatan sendiri.

Sebagai contoh, apa yang dimaksudkan dengan 'meresahkan masyarakat', apa standar untuk kondisi ini dan siapa yang memiliki wewenang untuk menentukannya.

Lalu, bagaimana jika publik merasa sebuah hal tidak masuk dalam kategori 'meresahkan masyarakat'?

6. Berkaitan dengan Bab IV, Pasal 14, mengenai Permohonan Pemutusan Akses, perlu mempertimbangkan standar pembatasan yang ditentukan dalam pasal 19 Ayat 3 ICCPR, termasuk pertimbangan Komentar Umum Komite HAM No. 34.

7. Permen ini juga memungkinkan memaksa semua PSES dari berbagai platform media sosial, penyedia layanan berbasis online tunduk dan menerima yuridiksi domestik atau lokal, baik untuk konten dan penggunaan konten dalam praktik keseharian.

Dalam hal ini, kerangka kewajiban tersebut justru melemahkan posisi perlindungan platform media sosial, aplikasi, dan penyedia layanan online menerima yuridiksi domestik atau nasional atas konten, kebijakan, dan praktik data pengguna.

(Dam/Ysl)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya