Liputan6.com, Jakarta - Indosat Ooredoo dan Tri Indonesia telah resmi mengumumkan merger. Aksi korporasi ini pun disebut dapat meningkatkan performa masing-masing perusahaan, sekaligus mendorong perkembangan industri telekomunikasi Tanah Air.
Menurut Founder Asosiasi IoT Indonesia, Teguh Prasetya, aksi merger ini belum cukup mendorong pendapatan bagi perusahaan. Ia menuturkan, operator saat ini harus mampu menjadi digital solution company untuk meningkatkan pendapatannya.
Salah satu yang dapat dimanfaatkan adalah menghadirkan solusi Internet of Things (IoT). Teguh menuturkan, masing-masing operator sebenarnya sudah memiliki unit bisnis IoT sendiri, tapi ceruk pasar untuk kategori ini sebenarnya masih sangat besar.
Advertisement
"Modal utama frekuensi sudah ada, sehingga siap dikembangkan dari jaringan 4G ke 5G. Selanjutnya, bisa menyediakan solusi platform yang menyasar industri tertentu," tutur Teguh dalam diskusi yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF) secara virtual.
Baca Juga
Menurut Teguh, hal ini penting karena porsi jaringan atau network dalam ekosistem IoT tidak begitu besar, hanya 9 persen. Sementara porsi lain seperti sensor, gateway, dan platform memegang peranan yang lebih besar.
"Menurut World Economic Forum segmen IoT itu banyak tersebar di beberapa industri dan belum semuanya dimasuki teman-teman operator. Jadi, yang bisa menyasar industri-industri tersebut tentu bisa meningkatkan value perusahaan," tuturnya menjelaskan.
Oleh sebab itu, Teguh menuturkan, aksi korporasi yang dilakukan Indosat Ooredoo dan Tri Indonesia memungkinkan mereka melakukan konsolidasi alat produksi, solusi maupun platform IoT untuk memperkuat layanan sektor IoT yang ditawarkan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pasar IoT Indonesia
Sebagai informasi, kebutuhan pasar IoT di Indonesia terbilang besar. Penetrasinya pun mencapai berbagai sektor industri, seperti manufaktur, kesehatan, agrikultur, retail, sektor publik, termasuk sektor telekomunikasi dan media.
Menurut data McKinsey, implementasi IoT di Indonesia juga dapat meningkatkan produktivitas yang berimbas pula pada Produk Domestik Bruto (PDB). Setidaknya, dampak yang dirasakan PDB Indonesia pada 2025 adalah sekitar USD 120 miliar.
Di sisi lain, implementasi IoT juga memiliki potensi besar dari sisi efisiensi biaya, jaminan pertumbuhan pendapatan, mempermudah kontrol kualitas sesuai standar, keamanan lebih tinggi dan keselamatan lebih terjaga.
Kondisi pandemi juga disebut ikut berpengaruh pada penerapan IoT di Indonesia, tidak hanya untuk industri tapi juga pengguna rumahan.
Teguh menuturkan, data Hootsuite menyebut pada 2019 baru sekitar 1,5 juta rumah yang berstatus smarthome, tapi pada Januari 2021 jumlah itu melonjak hingga 6,5 juta.
"Ini lonjakan yang sangat luar biasa. Pada akhir 2021 diperkirakan mencapai 12 juta smarthome. Karenanya, nilai bisnisnya sangat tinggi. Saat ini implementasi smarthome juga sangat tinggi," tutur Teguh menjelaskan.
Advertisement
Kehadiran 5G di Indonesia
Dalam kesempatan itu, kehadiran 5G di Indonesia juga disebut dapat mendorong perkembangan IoT. Namun menurut Teguh, 5G yang dinantikan penyedia IoT adalah 5G yang berdasarkan 3GPP Release 16 ke atas.
"Kenapa begitu? Karena yang dijanjikan Release 16 ke atas itu bisa konektivitas low latency. Jadi, koneksi real-time. Ini yang diterapkan di mobil otonomos. Yang kedua, Release 16 ke atas mendukung konektivitas masif," tutur Teguh.
Ia mengatakan, dengan konektivitas yang masif, 1 BTS mampu terhubung ke 40 ribu perangkat. Dengan demikian, dalam jangkauan satu kilometer persegi bisa terjadi satu juta konektivitas.
Selain itu, Release 16 ke atas juga mendukung Mobile IoT dan memiliki broadband yang tinggi. "Di Release 16 memang sudah ada, tapi di Release 16 akan lebih enhance lagi," ujarnya.
Saat ini, operator yang mengimplementasikan 5G masih mendukung Release 15, sehingga penyedia IoT masih menunggu deployment untuk Release 16.
(Dam/Ysl)