Peneliti Kembangkan Masker Cerdas untuk Deteksi Penyakit Pernapasan

Peneliti mengembangkan masker pintar, yang mengintegrasikan sensor gelombang suara berbasis struktur spons nanokomposit ultratipis untuk deteksi penyakit pernapasan

oleh M Hidayat diperbarui 05 Nov 2022, 16:00 WIB
Diterbitkan 05 Nov 2022, 16:00 WIB
Ilustrasi Perempuan pakai masker
Gejala long covid yang dapat terjadi oleh penyintas COVID-19 lebih berisiko diderita oleh perempuan. (unsplash.com/Ani Kolleshi)

Liputan6.com, Jakarta - Mengenakan masker telah diakui sebagai salah satu cara paling efektif untuk mencegah penyebaran Covid-19, dalam fase endemik yang akan datang.

Terlepas dari fungsi masker konvensional, potensi masker pintar untuk memantau sinyal fisiologis manusia semakin dieksplorasi.

Sekelompok tim peneliti yang dipimpin oleh City University of Hong Kong (CityU) baru-baru ini mengembangkan masker pintar, mengintegrasikan sensor gelombang suara berbasis struktur spons nanokomposit ultratipis, sehingga mampu mendeteksi suara pernapasan, batuk, dan berbicara.

Menggunakan algoritme machine learning dan sensor gelombang suara sensitivitas tinggi dioperasikan di bandwidth lebar, masker pintar ini dianggap telah membuka jalan baru untuk penerapannya dalam identifikasi penyakit pernapasan, serta alat interaksi suara.

Teknologi wearable ultraringan ini berpotensi meningkatkan kesehatan pribadi, dan masyarakat dengan memungkinkan pemantauan kesehatan pernapasan berkepanjangan dan sistematis dalam kehidupan sehari-hari.

Pentingnya memakai masker

Professor Li Wenjung, Chair Professor in the Department of Mechanical Engineering di CityU, menyatakan banyak negara sekarang meyakini Covid-19 akan segera menjadi endemik.

Namun, dia menilai kita harus mengesampingkan optimisme dan bersikap realistis tentang kemungkinan tingkat penyakit, disabilitas, dan kematian yang terkait dengan penyakit ini di tahun-tahun mendatang.

"Penting untuk diingat endemisitas tidak berarti tidak berbahaya," ujar Li.

Berkaca pada malaria

Dia menggunakan malaria sebagai contoh untuk menggambarkan bahwa meskipun saat ini malaria dianggap endemik di 87 negara, pada tahun 2020, penyakit itu menginfeksi sekitar 241 juta orang dan menyebabkan 627.000 kematian, menurut Organisasi Kesehatan Dunia.

Oleh karena itu, ia menyarankan masyarakat tetap waspada terhadap Covid-19 dan melakukan tindakan yang tersedia dan terbukti, termasuk masker, untuk mengendalikan penyebaran virus.

"Masker pintar ini menggunakan sensor fleksibel yang kami kembangkan sendiri, dengan sensitivitas tinggi, serta bandwidth lebar yang dapat mendeteksi dan merekam aktivitas pernapasan manusia sehari-hari, seperti bernapas, batuk, dan berbicara untuk penyimpanan data cloud," kata Li.

Masker pintar memiliki struktur seperti spons setipis 400μm, dibuat dengan karbon nanotube dan bahan polydimethylsiloxane, menggunakan teknik pelepasan korban yang dimodifikasi oleh tim.

Sensor ultratipis dan ringan dapat diintegrasikan secara praktis dan bekerja secara efektif dengan masker kaku dan masker kain non-anyaman.

 

Performa bagus dalam tekanan statis dan dinamis

Tim peneliti merekrut 31 orang untuk mengumpulkan aktivitas pernapasan mereka saat mereka mengenakan masker.

Temuan menunjukkan bahwa sensor gelombang akustik sangat sensitif dalam mengukur tekanan statis dan dinamis. Selain berkinerja baik pada rentang tekanan statis 27,9 Pa – 2,5 kPa, sensor juga merespons tekanan dinamis frekuensi tinggi yang dihasilkan oleh suara manusia, yaitu energi akustik harmonik suara hingga 4000 Hz.

Selain itu, sensor dapat merasakan pergerakan udara, termasuk aliran terarah dan getaran. Temuan ini menunjukkan bahwa sensor dapat digunakan untuk mendeteksi aktivitas pernapasan manusia dengan mengintegrasikannya dengan masker polikarbonat komersial. Itu berarti bahwa masker pintar dapat mendeteksi dan membedakan tiga fungsi pernapasan umum: bernapas, batuk, dan berbicara.

"Teknologi kecerdasan buatan yang canggih memungkinkan masker terintegrasi untuk mengenali pola batuk dan pernapasan yang berbeda secara otomatis, menunjukkan potensi penggunaannya untuk mendiagnosis penyakit terkait pernapasan di masa depan," ujar Wang Jianping, Wang Jianping, profesor di Department of Computer Science, CityU.

 

Algoritme diagnostik real-time

Saat ini, kata dia, para peneliti menggunakan sensor komersial untuk mendeteksi perubahan suhu dan aliran udara untuk menghitung jumlah batuk, tetapi mereka tidak dapat menangkap informasi fisiologis penting yang terkandung di dalam suara manusia, batuk dan pernapasan.

"Masker pintar kami sensitif terhadap tekanan udara halus dan getaran frekuensi tinggi dan dapat mendeteksi tiga frasa batuk," tutur Li.

Tim tersebut pada akhirnya bertujuan untuk mengembangkan algoritme diagnostik real-time untuk use case seperti penilaian gejala pneumokoniosis.

"Sebagai perangkat smart-wearable harian yang berpotensi murah, masker pintar baru ini akan membantu manajemen kesehatan pribadi dan masyarakat dari skrining dan diagnosis penyakit pernapasan, terutama di kota-kota dengan populasi padat,” kata Yu Xinge, Associate Professor di Department of Biomedical Engineering.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya