Founder VIDA Ikut Rumuskan SDM Kriptografi Nasional Dukung Keamanan Siber

Gajendra Kandasamy sebagai salah satu pendiri VIDA akan berpartisipasi penuh sebagai tim perumus rancangan dan kajian SKKNI agar sesuai standar maupun best pratice terbaik industri secara global.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 09 Nov 2022, 07:00 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2022, 07:00 WIB
VIDA
Chief Operating Officer & Co-Founder VIDA, Gajendran Kandasamy. (Dok: VIDA)

Liputan6.com, Jakarta - VIDA sebagai perusahaan penyedia identitas digital di Indonesia mengumumkan turut berpartisipasi dalam tim perumus rancangan SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) bidang kriptografi.

Untuk diketahui, SKKNI merupakan standar kompetensi yang disiapkan oleh BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) untuk tenaga kerja pada area fungsi keamanan siber, yakni kriptografi.

Untuk itu, Gajendra Kandasamy sebagai salah satu pendiri VIDA akan berpartisipasi penuh sebagai tim perumus rancangan dan kajian SKKNI agar sesuai standar maupun best pratice terbaik industri secara global.

"Kami merasa terhormat dapat ikut serta dalam standarisasi kriptografi nasional sebagai satu-satunya perwakilan dari PSrE yang terlibat," tutur Chief Operating Officer & Co-Founder VIDA, Gajendran Kandasamy dalam keterangan resmi yang diterima, Rabu (8]7/11/2022).

Gajendran menuturkan lebih lanjut, hal ini sekaligus menjadi validasi standar dan praktik yang diacu oleh VIDA. Langkah ini sekaligus memacu semangat tim VIDA untuk terus mengembangkan produk berbasis kriptografi seperti tanda tangan elektronik dan sertifikat elektronik.

Untuk diketahui, kriptografi merupakan metode penyampaian pesan secara tersembunyi dengan memanfaatkan teknik enkripsi. Metode ini sering digunakan untuk pembuatan password, kunci digital, tanda tangan digital, verifikasi data, hingga melindungi komunikasi pribadi saat transaksi kartu kredit.

Layanan tanda tangan digital dari VIDA sendiri menggunakan metode kriptografi asimetris dengan infrastruktur kunci publik (public key infrastructure). Infrastruktur ini melibatkan dua tipe, yakni kunci privat dan kunci publik.

Kunci publik ini akan dilekatkan bersama dokumen elektronik yang telah dienkripsi dengan kunci privat penanda tangan, sehingga identitas penandatanganan dan integritas dokumen dapat dipastikan kebenarannya.

Teknologi ini pun diterapkan sebagai standar keamanan siber kelas dunia yang disertifikasi dan diakui secara internasional.

"Kami berharap, standar industri secara global yang dirumuskan dalam SKKNI bidang kriptografi ini dapat bermanfaat sebagai acuan bagi industri di Indonesia dalam meningkatkan keamanan siber," tutur Gajendran.

Gajendra juga menuturkan, VIDA akan terus bersinergi bersama pemerintah dan partner platform digital untuk menumbuhkan kemandirian teknologi dalam negeri. Hal ini tentu diharapkan bisa semakin memperkuat keamanan dan ketahanan siber nasional.

Kiat Menjaga Keamanan Data Pribadi Bagi Konsumen dan Platform Digital

VIDA menjalin kerja sama dengan DocuSign (Dok. VIDA)
VIDA menjalin kerja sama dengan DocuSign (Dok. VIDA)

Di sisi lain, transformasi digital dan industri financial technology (fintech) saat ini semakin berkembang. Namun, tren ini juga harus diikuti kewaspadaan terhadap ancaman kejahatan siber.

Tidak sedikit oknum yang menyalahgunakan animo masyarakat menggunakan platform fintech maupun investasi, serta kerap kali terjadi pencurian data dari aplikasi.

Maka dari itu, CEO dan Co-Founder VIDA, Sati Rasuanto pun mengungkapkan, ada beberapa kiat dalam menjaga keamanan data pribadi bagi konsumen, serta untuk platform digital itu sendiri.

Sati, dalam keterangan tertulisnya, ditulis Senin (9/5/2022) mengatakan, dalam dunia online, mereka percaya bahwa trust atau kepercayaan, adalah aspek yang paling krusial.

Menurutnya, hal ini memungkinkan kita untuk mempercayai sebuah ide atau produk, yang sebelumnya belum pernah kita kenal.

"Langkah pertama untuk melindungi diri bagi para platform digital dari cyber fraud adalah bagaimana kita membangun proses verifikasi trust di awal sebagai pintu masuk," kata Sati.

Oleh sebab itu, untuk pengguna, Sati menekankan pentingnya untuk tidak menyebarkan dengan mudah data pribadi bagi pihak-pihak di luar diri kita.

Beberapa data pribadi yang tidak boleh dengan gampang disebarkan seperti KTP, swafoto dengan KTP, foto paspor, foto boarding pass, nomor rekening, nomor kartu kredit, nama ibu kandung, termasuk fotokopi berbagai dokumen itu.

"Terus pastinya jangan memberi kode OTP (One-Time-Password) dan jangan asal klik link yang menjanjikan hadiah juga, biasanya kalau onlinewhen it’s too good to be true, itu biasanya bohong," imbuh Sati.

 

Digital Explorer

Ilustrasi Keamanan Siber, Kejahatan Siber, Malware
Ilustrasi Keamanan Siber, Kejahatan Siber, Malware. Kredit: Elchinator via Pixabay

Sebuah studi dari Digital Frontier menunjukkan, lebih dari 78 persen konsumen di Asia Tenggara, mendefinisikan diri mereka sebagai digital explorer. Ini berarti, para konsumen ini selalu ingin mencoba layanan baru yang bersifat digital experience.

Namun di sisi lain, kerugian dari fraud untuk transaksi online di Asia Tenggara pada tahun 2019, mencapai USD 260 juta atau sekitar Rp 3,6 triliun, dengan 71 persen di antaranya berasal dari identity fraud.

Di situlah pentingnya kehadiran proses verifikasi identitas secara online atau electronic Know-Your-Customer (e-KYC).

Terlebih pada era yang serba digital, belum tentu semua orang dapat meluangkan waktu untuk hadir secara fisik di kantor cabang dan menunggu dalam waktu yang lama.

Sati mencontohkan, ketika ada yang mau membuka akun di digital platform, sistem verifikasi memastikan bahwa orang tersebut terverifikasi dengan baik.

"Analoginya seperti membiarkan orang masuk rumah, mau orang tersebut menginap ataupun buka kulkas rumah, platform telah mempercayai orang tersebut, karena telah melakukan pengecekan pada pintu masuk," ujarnya.

"Namun begitu sudah di dalam dan orang tersebut mau melakukan transaksi, orang tersebut hanya perlu melalui proses bernama otentikasi seperti tanda tangan elektronik," imbuhnya.

Pada umumnya, proses identifikasi secara tradisional menggunakan email, nomor telepon ataupun username dan password. Namun identitas tersebut dapat menimbulkan permasalahan karena bersifat tidak unik.

Verifikasi Identitas

Maka dari itu, VIDA melakukan verifikasi identitas berdasarkan identitas yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini berarti e-KTP sebagai basis verifikasi yang kuat untuk memastikan kebenaran pemilik data.

Selanjutnya proses verifikasi itu umumnya kini melalui proses selfie atau pengambilan foto KTP, atau selfie sama KTP.

"Yang berbeda, VIDA menggunakan teknologi liveness detection dimana teknologi tersebut memastikan bahwa yang diverifikasi itu benar saya, bukan orang yang memegang foto saya atau memakai topengnya saya dan lain-lain."

Sati menambahkan, dalam menciptakan rasa percaya di proses verifikasi, terdapat standar untuk proses keamanan data agar semua prosesnya dilakukan sesuai standar dan regulasi yang ada, bahkan lebih dari itu.

Ketika keseluruhan proses tersebut sudah terpercaya dan dilengkapi dengan enkripsi end to end, maka hal ini meyakinkan siapapun yang masuk dalam platform tersebut.

Sesuai UU ITE, tanda tangan elektronik (TTE) tersertifikasi memiliki kekuatan pembuktian yang lebih tinggi di hukum Indonesia, dan hanya dapat disediakan oleh Penyedia Sertifikasi Elektronik (PSrE) yang terdaftar di Kementerian Komunikasi dan Informatika seperti VIDA.

Meski begitu, menurut Sati, memang ada pengguna dan platform yang kerap mempermasalahkan kenyamanan bertransaksi dan kemanaan.

"Kadang ada yang bertanya, 'Kenapa perlu verifikasi KTP, padahal email saja cukup?', 'Kenapa pakai tanda tangan tersertifikasi, cukup pakai image tanda tangan di tempelkan ke PDF kan cukup?' Banyak sekali friksi-friksi yang buat orang-orang malas untuk menggunakan."

(Dam/Ysl)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya