Liputan6.com, Jakarta - Kecerdasan buatan atau yang dikenal dengan AI (Artificial Intelligence), seperti yang kita ketahui teknologi ini sedang marak digunakan dan ramai diperbincangkan, baik sebagai bentuk dukungan atau kekhawatiran dan rasa keberatan akan adanya teknologi ini.
Salah satu pihak yang merasa keberatan adalah para pemiliki karya, seperti penulis, misalnya.
Baca Juga
Dilansir Mashable, Selasa (29/8/2023), Stephen King menanggapi berita bahwa salinan bajakan dari bukunya, bersama dengan karya ribuan penulis lainnya, telah digunakan untuk melatih model AI.
Advertisement
Masalah ini semakin berkembang dalam beberapa minggu terakhir, dengan penulis Mona Awad dan Paul Tremblay mengajukan gugatan terhadap perusahaan induk ChatGPT, OpenAI, karena alasan yang sama pada bulan Juli.
Namun berbeda dengan penulis cerita-cerita horor dari Amerika yang satu ini, Stephen King. Business Insider melaporkan, King menyatakan bahwa tidak akan keberatan kalau karyanya digunakan untuk uji coba program AI.
Penulis yang dijuluki "King of Horror" ini meyakini bahwa AI masih perlu dipelajari sebelum bisa meniru kreativitas manusia. Mangunggah karya orang lain ke komputer dapat mengajarkan AI cara menghasilkan karya seni yang lebih baik.
Menurutnya, saat ini kreativitas AI belum sebanding dengan kemampuan mental seseorang. Dia membandingkan puisi yang dihasilkan oleh AI sangat mirip dengan "Movie money: good at first glance, not so good upon close inspection."
Ribuan Penulis Menuntut Perusahaan AI Atas Karya Mereka
Sejalan dengan banyaknya penulis yang merasa adanya pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh AI, lebih dari 8.000 penulis beramai-ramai menandatangani surat terbuka yang berisi tuntutan pemberian kompensasi atas karya mereka yang digunakan oleh perusahaan AI.
Surat tersebut telah dikirimkan kepada CEO teknologi OpenAI Sam Altman, Mark Zuckerberg dari Meta, dan Sundar Pichai dari Alphabet pada Juli lalu.
Tidak hanya mengundang rasa keberatan pada para penulis, para narator audiobook juga menyuarakan keprihatinan terhadap AI yang mengkloning suara mereka.
Bersamaan dengan tuntutan hukum yang diajukan, para penulis bahkan memboikot sebuah situs web yang menggunakan AI untuk menganalisis ribuan novel (Prosecraft).
Benji Smith, selaku pemilik situs web ini mendengarkan protes dari para penulis karya yang termuat di situs webnya, dan segera menutup situs web ilegalnya.
Advertisement
Stephen King Yakin Masyarakat Bisa Beradaptasi dan Menerima AI
Di saat orang-orang percaya bahwa AI akan mengakhiri umat manusia, penulis cerita-cerita horor yang satu ini justru tidak merasa terancam.
Ia percaya kreativitas membutuhkan perasaan, dan meskipun beberapa orang mungkin berpendapat bahwa AI dapat mencapai hal ini, King tetap skeptis.
Dilansir Decrypt, sentimen anti-AI sangat nyata, dengan banyak seniman vokal yang percaya bahwa karya mereka digunakan secara tidak adil oleh para pelatih AI yang pada akhirnya dapat mengeluarkan mereka dari industri kreatif.
Beberapa situs berita bahkan memblokir OpenAI agar tidak merayapi kontennya untuk melatih model baru. Selain itu, ada tuntutan hukum terhadap perusahaan yang menghasilkan gambar AI.
Meskipun penerimaan King terhadap peran AI di masa depan sudah jelas, ia juga mengakui potensi tantangannya. Dia tidak merasa wilayahnya sedang dirambah. Ia yakin bahwa masyarakat bisa beradaptasi dan menerima teknologi AI seperti halnya smartphone pada saat ini.
AI Dapat Berisiko Apabila Tidak Dilakukan Pengawasan
Sam Altman, CEO dari perusahaan teknologi artificial intelligence (AI), OpenAI, mengatakan saat ini penting untuk meregulasi kecerdasan buatan.
Hal ini dinyatakan oleh CEO OpenAI itu dalam sebuah utas beberapa waktu lalu. Menurutnya, adaptasi ke dunia yang terintegrasi alat-alat AI mungkin akan terjadi dengan sangat cepat.
Altman pun juga mengatakan transisi semacam ini sebagian besar baik dan bisa terjadi dengan cepat, seperti perubahan yang terjadi dari dunia pra-smartphone ke post-smartphone.
"Namun transisi akan terjadi dengan sangat cepat, di mana ini menakutkan--masyarakat membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan sesuatu yang begitu besar," kata Sam Altman.
"Salah satu risiko terbesar bagi masa depan peradaban adalah AI. Tapi AI itu ada dampak positif dan negatif--teknologi ini memiliki potensi besar, kemampuan besar, tetapi juga memiliki bahaya besar," kata Elon Musk.
Di sisi lain, Pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa/ PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM), mengingatkan bahwa kecerdasan buatan atau artifical intelligence (AI), juga bisa memunculkan risiko terhadap HAM.
Advertisement