Liputan6.com, Jakarta - Apple menjadikan perangkat baru seri mereka, iPhone 15 serta Apple Watch Series 9 dan Ultra 2, sebagai bentuk dukungan terhadap upaya keberlanjutan lingkungan melawan perubahan iklim.
Seri iPhone 15 Pro dilirik karena menggunakan Titanium Grade 5 pertama di smartphone, dan chipset silikon A17 Pro 3nm.
Baca Juga
Apple mengklaim chipset di iPhone 15 Pro membuat ponsel lebih bertenaga dibandingkan kebanyakan komputer desktop, namun tetap lebih hemat energi.
Advertisement
Bahan Titanium membuat ponsel ini lebih ringan dan lebih tahan lama, juga lebih mudah diperbaiki daripada seri sebelumnya karena memiliki struktur aluminium daur ulang di dalamnya.
Selain menggunakan USB Type-C untuk mengisi daya, iPhone 15 juga hadir dengan kobalt daur ulang pada baterainya dan juga bahan netral karbon lainnya.
Selain seri iPhone 15, Apple juga mengenalkan Watch Series 9 yang hadir dengan Apple Silicon S9 dengan daya tahan baterai selama 18 jam.Â
Sementara Apple Watch Ultra 2, chip S9 juga menjadi sumber tenaga jam tangan ini, serta menggunakan 95 persen titanium daur ulang dan juga netral karbon.
Langkah ini menunjukkan upaya Apple untuk menjadi netral karbon di seluruh bisnisnya pada tahun 2030.Â
Bahkan, mereka menggunakan film menampilkan CEO Tim Cook dan VP Lisa Jackson untuk menyampaikan poin serius dan menyoroti upayanya dalam mengurangi jejak karbon.Â
Apple Watch Series 9 akan diproduksi sepenuhnya menggunakan energi terbarukan dan sebagian besar akan beralih ke pengiriman melalui laut untuk produknya guna mengurangi jejak karbon. Semua ini akan menjadikan Apple Watch Series 9 sebagai produk netral karbon pertama dari Curpertino.Â
Apple juga mengumumkan bahwa mereka akan berhenti menggunakan bahan kulit pada produk Apple yang baru, termasuk tali jam tangan.
Produksi Baterai EV yang Tidak Ramah Lingkungan
Sama seperti halnya smartphone, kebanyakan kendaraan listrik (EV) juga menggunakan baterai lithium-ion (Li-ion) yang ternyata menyumbang jejak karbon yang tinggi di langit bumi.
Padahal sebenarnya, EVÂ menawarkan sistem transportasi berkelanjutan guna menghadapi perubahan iklim. EV juga menggunakan alternatif energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan daripada mobil pembakaran bensin tradisional.
Namun faktanya, seperti yang diungkap EVBox, Selasa (12/9/2023), beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembuatan baterai EV dapat menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan mobil bensin.
Hal ini disebabkan oleh sejumlah besar energi yang dibutuhkan untuk pengadaan bahan baku dan proses pembuatan baterai EV.
Sebagian besar konsumsi energi ini terkait dengan produksi baterai yang membutuhkan ekstraksi bahan langka dan sulit didapat seperti lithium, kobalt, dan mangan.
Nah, baterai mobil listrik merupakan komponen kompleks yang mengandung banyak rare earth elements (REE), seperti lithium, nikel, kobalt, dan grafit.
Sesuai namanya, bahan-bahan ini sulit ditemukan dan diekstrak, membutuhkan penambangan intensif dan bahkan beberapa proses polusi untuk memisahkannya dari tanah. Inilah sebabnya mengapa memproduksi baterai kendaraan listrik dapat menjadi tantangan bagi lingkungan.
Â
Advertisement
Komponen Baterai LIstrik
Baterai kendaraan listrik terdiri dari ribuan sel lithium-ion/Li-ion berbentuk kotak baterai dan dapat diisi ulang. Di luar bahan mentah yang membentuk sel-selnya, baterai kendaraan listrik membutuhkan lebih banyak komponen perangkat keras dan perangkat lunak untuk membuatnya berfungsi.
Bahan utama yang membentuk baterai listrik adalah lithium, mangan, dan kobalt. Sebuah laporan dari Nature memperkirakan bahwa baterai EV biasa menggunakan sekitar 8 kilogram lithium, 14 kilogram kobalt, dan 20 kilogram mangan.
Berikut ini adalah dampak dari penambangan bahan baku baterai EV yang umumnya menggunakan teknologi Li-ion, beserta alternatif solusi yang lebih ramah lingkungan
Dampak Penambangan Bahan Baku Baterai EV
Lithium merupakan bahan utama mayoritas baterai EV, yang diproduksi dari dataran garam atau waduk air garam bawah tanah, dengan sebagian besar produksi terpusat di Amerika Selatan.
Mengekstraksi lithium dari air garam cukup mudah dan dilakukan dengan menguapkan air untuk meninggalkan larutan yang kaya akan lithium.
Karena proses penguapan ini, penambangan litium menghabiskan sejumlah besar air tanah. Hal ini dapat membuat masyarakat setempat kekurangan air minum dan merusak pertanian karena berkurangnya ketersediaan air irigasi.
Selain itu, cairan yang tersisa setelah litium diekstraksi dapat mengandung unsur beracun atau radioaktif yang perlu dibersihkan dan disimpan sebelum dibuang.
Selain lithium, kobalt adalah penyebab yang sering disebut-sebut sebagai penyebab perubahan iklim dari baterai EV.
Kobalt diproduksi sebagai produk sampingan dari pertambangan tembaga dan nikel, tetapi juga dapat ditambang secara langsung, dengan Australia dan Republik Demokratik Kongo (DRC) sebagai produsen utamanya.
Tambang kobalt menghasilkan residu beracun yang dapat meresap ke lingkungan, meracuni air tanah, dan membahayakan masyarakat sekitar. Selain itu, peleburan bijih kobalt menghasilkan asap dengan konsentrasi sulfur oksida yang tinggi dan polutan udara lainnya.
Dibandingkan dengan lithium dan kobalt, mangan sering kali diabaikan dalam diskusi tentang bahan baku yang dibutuhkan untuk produksi baterai EV.Â
Mangan sering ditemukan bersama dengan endapan besi di tambang terbuka. Karena penambangannya dilakukan di tambang terbuka, ekstraksi mangan dapat menyebabkan polusi udara yang cukup besar dan mencemari lingkungan.
Advertisement