Pengamat: BHP Starlink harus Dievaluasi untuk Tingkatkan Iklim Telekomunikasi dan PNBP Negara

Starlink hanya dikenakan regulatory charges sangat rendah, di mana Kominfo cuma mengenakan Biaya Hak Penggunaan Izin Stasiun Radio (BHP ISR) satelit ke Starlink.

oleh Iskandar diperbarui 18 Jun 2024, 10:30 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2024, 10:30 WIB
Elon Musk Tiba di Bali
Bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi), Elon Musk dijadwalkan akan meresmikan layanan internet Starlink saat acara World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali. (SONNY TUMBELAKA/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan soal operator telekomunikasi nasional yang tak bisa berkompetisi dengan Starlink, dinilai Pengamat Telekomuniasi Agung Harsoyo kurang bijak.

Ia menilai perusahaan telekomunikasi nasional sejatinya tak anti dan siap berkompetisi dengan perusahaan besutan Elon Musk tersebut.

Namun, saat ini kondisi perusahaan telekomunikasi di Indonesia sedang tak sehat karena mereka masih menanggung beban regulasi (regulatory charges) yang sangat tinggi.

"Saat ini regulatory charges di industri telekomunikasi lebih dari 15%. Padahal ambang batas sehatnya kurang dari 8%," ujar Agung melalui keterangannya, Selasa (18/6/2024).

Dosen STEI ITB itu menilai, jika Luhut ingin operator telekomunikasi dapat berkompetisi, harusnya industrinya disehatkan terlebih dahulu.

"Asosiasi telekomunikasi sudah mengajukan skema dan program untuk menyehatkan industri, tapi sampai saat ini belum ada respons positif dari pemerintah. Dengan kewenangan yang saat ini dimiliki, Luhut harusnya dapat membantu penyehatan industri dengan menurunkan beban regulatory charges yang besar,” imbaunya.

Agung menuturkan, saat ini Starlink hanya dikenakan regulatory charges sangat rendah. Kominfo cuma mengenakan Biaya Hak Penggunaan Izin Stasiun Radio (BHP ISR) satelit ke Starlink.

Jumlah BHP ISR yang dikenakan Kominfo ke Starlink juga hanya dihitung satu unit satelit dengan nilai maksimal Rp 2 miliar per tahun.

"Padahal satelit Starlink yang memancar di Indonesia lebih dari 200 unit. Sedangkan untuk BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) yang ditanggung operator selular dan dibayarkan ke kas negara tahun 2023 mencapai Rp 21,1 triliun," ungkap komisioner BRTI periode 2018–2021 tersebut.

 

Starlink harus Dikenakan BHP Berdasarkan Jumlah Satelit

Internet satelit Starlink
Internet satelit Starlink. Liputan6.com/Iskandar

Agung berpendapat, pemerintah harusnya bisa mengenakan BHP berdasarkan jumlah satelit yang memancar di Indonesia. Sebab, saat ini operator satelit nasional dikenakan BHP ISR berdasarkan jumlah kepemilikan satelitnya.

Jika operator memiliki dua satelit, mereka harus membayar BHP ISR sebanyak satelit yang dimiliki, sehingga perubahan perhitungan BHP ISR Starlink nantinya dinilai Agung dapat meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan menciptakan iklim persaingan usaha.

Perubahan metode perhitungan berdasarkan satelit Starlink yang memancar ini mirip pemerintah yang memungut PNBP sektor transportasi udara berdasarkan jumlah pesawat yang melintas di Indonesia--bukan per perusahaan penerbangan.

Jika metode BHP ISR dihitung per satelit yang beroperasi di Indonesia, kontribusi Starlink bagi PNBP sektor telekomunikasi sangat signifikan.

“Bila nantinya mereka menyelenggarakan direct to cell, harusnya pemerintah dapat mengenakan Starlink dengan BHP IPFR layaknya operator selular. Dengan kewenangan yang miliki, saya yakin Luhut mampu membuat regulasi NGSO (Nongeostasioner) yang berkeadilan," ujar Agung.

Agung menambahkan, pembuatan regulasi NGSO ini sejalan dengan visi misi Presiden Joko Widodo dan Luhut yang menginginkan investasi Starlink di Indonesia dapat berkontribusi signifikan bagi pendapatan negara.

Starlink bisa Jadi Backbone ISP

CEO Tesla dan Space X Elon Musk dalam peresmian peluncuran Starlink di salah satu puskesmas di Denpasar, Minggu (19/5/2024). (Liputan6/Benedikta Miranti)
CEO Tesla dan Space X Elon Musk dalam peresmian peluncuran Starlink di salah satu puskesmas di Denpasar, Minggu (19/5/2024). (Liputan6/Benedikta Miranti)

Selain beban regulasi, permasalahan dalam menyediakan layanan internet di Indonesia yang perlu dilihat Luhut adalah sulitnya akses yang disebabkan mahalnya biaya penggelaran jaringan serat optik.

Agung mengatakan, kondisi geografis Indonesia yang kepulauan dan gunung membuat ongkos penggelaran fiber optik di Indonesia mahal.

“Agar tak ada tumpeng tindih penyediaan jaringan internet di Indonesia, harusnya Luhut menempatkan Starlink sebagai penyedia akses bagi operator telekomunikasi yang hendak menyediakan layanan di daerah yang lokasinya menantang," ia menyarankan.

Agung mengimbau, harusnya Starlink diposisikan sebagai penyedia backbone yang nantinya akan dipakai pengusaha internet service provider (ISP) yang belum memiliki fiber optik.

"Menurut saya ini solusi yang menguntungkan bagi masyarakat maupun industri telekomunikasi,” ia memungkaskan.

XL Axiata Minta Pemerintah Lindungi Industri Telko, Terapkan Aturan yang Setara Buat Starlink

Kantor XL Axiata (Liputan6.com/ Agustin Setyo W)
Ilustrasi kantor XL Axiata (Liputan6.com/ Agustin Setyo W)

Sebelumnya, XL Axiata meminta pemerintah untuk memberlakukan aturan yang setara jika Starlink menggelar layanan langsung ke konsumen (B2C).

Pasalnya, saat ini Starlink mulai menjajaki layanan direct to cell atau menjual langsung layanan internet ke smartphone, alih-alih hanya menyediakan infrastruktur ke pelanggan business to business (B2B) dan pelanggan rumah. 

Group Head Corporate Communications & Sustainability XL Axiata, Reza Mirza mengatakan, layanan direct-to-cell sama seperti penjualan langsung ke konsumen (B2C).

Untuk itu, XL mengharapkan pemerintah menerapkan aturan dan kewajiban yang setara bagi Starlink dengan kewajiban yang dijalankan perusahaan telekomunikasi Indonesia.

"Untuk direct-to-cell (Starlink), kami berharap pemerintah juga menerapkan level playing field yang sama. Kami mendorong, memohon ke pemerintah agar Starlink setidaknya melakukan kerja sama dengan penyelenggara seluler atau operator, jadi tidak (jualan layanan) direct ke end user," kata Reza, ditemui di Jakarta, Rabu (5/4/2024).

Reza mengatakan, pihaknya melihat teknologi internet berbasis satelit low-earth-orbit seperti Starlink merupakan teknologi baru yang seharusnya bisa dikolaborasikan dengan perusahaan telkomunikasi eksisting.

"Karena kalau direct ke end user itu dampaknya besar ke industri (telekomunikasi)," katanya.

XL Axiata sendiri telah aktif menyuarakan pandangannya tentang layanan Starlink ke pelanggan melalui Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI).

Saat ini, ATSI yang beranggotakan perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia tengah menunggu arahan dari pemerintah mengenai hal ini.

Meski memiliki keberatan tentang kehadiran layanan langsung Starlink ke pelanggan, XL Axiata terbuka untuk kerja sama business to business dengan Starlink sebagai penyedia layanan internet berbasis satelit.

"Kami terbuka untuk kolaborasi dengan Starlink tetapi konkretnya seperti apa, masih belum. Kami terbuka untuk kolaborasi B2B," ia menuturkan.

Infografis 10 Negara Pertama dan 10 Pengguna Terbaru Starlink. (Liputan6.com/Abdillah)

Infografis 10 Negara Pertama dan 10 Pengguna Terbaru Starlink. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 10 Negara Pertama dan 10 Pengguna Terbaru Starlink. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya