Liputan6.com, Jakarta - Umat Muslim tengah menantikan bulan suci Ramadan yang hanya tinggal menunggu hitungan jam. Untuk menentukan 1 Ramadan 1446H, Kementerian Agama menggelar Sidang Isbat pada Jumat, 28 Februari 2025.
Terlepas dari penentuan kapan 1 Ramadan yang diputuskan dalam Sidang Isbat nanti, sebenarnya ilmu astronomi dan metode rukyat menjadi dua pendekatan utama dalam penetapan hilal, yang kerap menimbulkan perbedaan pandangan.
Advertisement
Mengutip rilis BRIN, Jumat (28/2/2025), hasil analisis garis tanggal pada 28 Februari 2028 ketika maghrib di wilayah Indonesia memperlihatkan posisi bulan telah memenuhi kriteria MABIMS di wilayah Aceh.
Advertisement
Posisi bulan di Banda Aceh adalah: tinggi toposentrik 4,5 derajat. Elongasi geosentrik 6,4 derajat, sedikit melebihi kriteria MABIMS yakni tinggi > 3 derajat dan elongasi > 6,4 derajat.
Dengan kondisi di Aceh ini, awal 1 Ramadan di kalender hijriyah adalah 1 Maret 2025.
Meski begitu, karena hanya wilayah Aceh yang memenuhi kriteria dan mengingat cuaca mungkin mendung, ada kemungkinan gagal rukyat, jadi berpotensi 1 Ramadan jatuh pada 2 Maret 2025.
Namun, penetapan awal 1Â Ramadan 1446 H menunggu hasil sidang isbat yang dilakukan oleh Kementerian Agama.
Peran Ilmu Astronomi dan Falak Menentukan Posisi Hilal
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaludin, menjelaskan, ilmu astronomi dan ilmu falak berperan penting dalam menentukan posisi hilal secara ilmiah.
Thomas menyebut, astronomi merupakan ilmu yang mempelajari benda-benda langit, termasuk pergerakan matahari dan bulan. Sementara ilmu falak menjadi bagian dari astronomi yang dikaitkan dengan dalih-dalih syariah untuk keperluan ibadah umat Islam.
"Dalam menentukan hilal, ilmu astronomi digunakan untuk menghitung posisi bulan, tinggi hilal, serta jarak bulan dari matahari untuk memprediksi apakah hilal dapat teramati atau tidak," kata Thomas, mengutip situs BRIN, Jumat (28/2/2025).
Menurutnya, dalam Islam, penentuan awal bulan Hijriah awalnya dilakukan menggunakan metode rukyat atau pengamatan hilal langsung. Hal ini sesuai hadis Nabi Muhammad yang artinya, 'berpuasalah jika melihat hilal atau berbukalah jika melihat hilal.'
Sejalan berkembangnya ilmu pengetahuan, metode hisab atau perhitungan astronomi mulai dipakai untuk memerkirakan posisi hilal sebelum pengamatan.
"Saat ini, perhitungan astronomi sudah sangat akurat, bahkan untuk gerhana matahari atau bulan, bisa dihitung hingga hitungan detik," tuturnya.
Meski hilal begitu akurat, Thomas mengingatkan bahwa sebagian besar umat Islam masih menginginkan pembuktian dengan rukyat.
Advertisement
Penyebab Perbedaan Penetapan Awal Hijriah
Thomas mengatakan, perbedaan penetapan awal bulan Hijriah kerapkali bukan disebabkan oleh metode hisab dan rukyat, melainkan perbedaan kriteria yang dipakai berbagai organisasi Islam dan pemerintah.
Untuk Indonesia misalnya, kriteria yang dipakai oleh pemerintah berbeda dengan Muhammadiyah, namun sama dengan beberapa ormas Islam lainnya. Perbedaan inilah yang membuat adanya perbedaan menentukan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Tak hanya itu, faktor geografis dan kondisi cuaca juga berpengaruh dalam metode rukyat. Hilal yang sangat tipis bisa terhalang cahaya atau cuaca mendukung, dengan begitu, sulit diamati dengan mata telanjang.
Untuk itu, teknologi astronomi terus dikembangkan untuk meningkatkan akurasi pengamatan hilal. Salah satunya dengan teleskop dan kamera digital dan pemroses citra image stacking.
tujuannya adalah meningkatkan kontras citra hilal dengan cara menumpuk ratusan gambar dalam satu frame. "Teknologi ini memungkinkan hilal yang sangat redup bisa terlihat lebih jelas," katanya.
Â
BRIN Dukung Pemantauan Hilal untuk Masukan Sidang Isbat
Thomas mengungkap, sejak 2021, pemerintah dan ormas Islam Indonesia memperbarui kriteria penentuan hilal, yakni minimal 3 derajat dengan elongasi 6,4 derajat.
Muhammadiyah yang sebelumnya memakai kriteria kalender Hijriah global tunggal kini kembali memakai metode wujudul hilal. Meski begitu perbedaan penetapan awal bulan Hijriah kemungkinan akan tetap terjadi.
BRIN pun berperan mendukung penentuan hilal yang akurat dan ilmiah. Melalui Pusat Riset Antariksa, BRIN mendukung pemantauan hilal yang lebih berkualitas sebagai masukan bagi sidang isbat Kementerian Agama.
"Kami terus memberi masukan berdasarkan riset dan inovasi astronomi untuk memastikan metode yang dipakai dalam menentukan hilal kian akurat dan diterima semua pihak," ujarnya.
Â
Advertisement
