Barometer Pekan Ini: Api yang Tak Kunjung Padam

Berbulan-bulan kabut asap mengepung Sumatera dan Kalimantan. Peristiwa yang terus terulang dari tahun ke tahun.

oleh Liputan6 diperbarui 17 Okt 2015, 18:18 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2015, 18:18 WIB
Barometer Pekan Ini: Api yang Tak Kunjung Padam
Berbulan-bulan kabut asap mengepung Sumatera dan Kalimantan. Peristiwa yang terus terulang dari tahun ke tahun.

Liputan6.com, Palembang - Berbulan-bulan kabut asap mengepung Sumatera dan Kalimantan. Peristiwa yang terus terulang dari tahun ke tahun. Kabut asap membuat aktivitas warga dan penerbangan terganggu.

Kesehatan warga pun menurun, bahkan sejumlah balita meninggal dunia yang diduga akibat terpapar kabut asap. Kabut asap juga mengganggu negeri jiran, yakni Singapura dan Malaysia.

Sedikitnya ada 1,7 juta hektare lahan yang terbakar. Sebanyak 770.000 di antaranya di Kalimantan dengan 35,9% lahan gambut dan 593.000 hektare lahan di Sumatera dengan 45,9% lahan gambut.

"Untuk tahun ini yang saya lihat bahwa sudah untuk Sumatera Selatan saja luasnya itu luar biasa, lalu apinya di mana-mana, tidak ngumpul. Itu baru Sumatera Selatan. Untuk tahun ini kita terjadi di 6 provinsi sekaligus," ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Pusat Williem Rampangiley.

Berbagai cara dilakukan, namun api tak kunjung padam. Kabut asap pun semakin tebal. Tidak mampu mengatasi kebakaran lahan, pemerintah menerima bantuan pesawat dan helikopter dari negara tetangga Singapura, Malaysia, dan Australia untuk memadamkan api.

Salah satu bantuannya adalah pesawat bom air milik Malaysia yang mampu mengangkut 6 ton air. Pesawat amfibi ini mampu mengangkut air langsung dari sungai atau laut tanpa mendarat.

Sejauh ini sudah ratusan ton air dilepaskan untuk memadamkan api di sejumlah kabupaten di Sumatera Selatan.

Kehadiran pesawat asing cukup membantu dalam memadamkan api, tetapi api tidak bisa begitu saja bisa ditaklukkan terlebih di lahan gambut yang memiliki karakteristik unik.

Karakteristik unik itu di mana bara api masuk hingga ke dalam tanah. Dengan tiupan angin, api itu bisa saja kembali muncul. Setelah sempat terpantau satelit hanya tersisa 9 titik api, Jumat 16 Oktober 2015 kemarin titik api kembali melonjak menjadi 650 titik api.

Meski jumlah titik api menurun, kualitas udara Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) masih menunjukkan sangat tidak sehat. Korban pun terus berjatuhan. Bocah Latifah Ramadhani meninggal dunia setelah sesak napas.

Pada Senin 12 Oktober 2015 lalu, Latifah tiba-tiba saja sesak napas dan sempat dibawa ke RS Charitas Palembang, Sumatera Selatan. Pihak rumah sakit sempat menyarankan agar korban dimasukkan ke ruang ICU, namun keluarga tidak memiliki biaya untuk membayar ruang ICU hingga akhirnya nyawa balita ini tidak tertolong.

Latifah adalah balita korban meninggal ketiga di Palembang akibat kabut asap. Sebelumnya bayi 28 hari bernama Muhammad Husin Sahputra dan Arika Fatinah Ramadhani berusia 15 bulan.

Selain merenggut korban jiwa, kabut asap juga mengganggu aktivitas warga dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi pengelola bandara. Pemerintah sudah berupaya memadamkan api dan menjerat para pembakar lahan.

Pekatnya kabut asap di Palangkaraya, Kalimantan Tengah membuat siang terlihat seperti senja. Jarak pandang hanya 50 meter sedangkan ISPU pada level sangat berbahaya jauh di atas ambang batas udara sehat untuk dihirup manusia. Sekolah pun terpaksa diliburkan.

Buruknya kualitas udara membuat Unit Gawat Darurat (UGD) RS Doris Sylvanus Palangkaraya disesaki pasien sesak napas. Bahkan seorang bayi yang baru dilahirkan mengalami sesak napas akibat kabut asap.

Dalam mengatasi kebakaran lahan dan kabut asap, pemerintah sebenarnya sudah berupaya menjerat para pembakar lahan. Hingga Senin lalu sudah 12 perusahaan dijadikan tersangka pembakar hutan di Sumatera dan Kalimantan termasuk 2 perusahaan asing asal Malaysia dan Tiongkok.

Para tersangka akan dijerat dengan Pasal 108 UU Nomor 32 Tahun 2009 dengan ancaman hukuman minimal 3 tahun penjara maksimal 10 tahun dan denda minimal Rp 3 miliar dan maksimal Rp 10 miliar.

Namun penggiat masalah lingkungan menilai akar persoalan kabut asap adalah eksploitasi berlebihan sumber daya alam khususnya lahan gambut untuk dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan.

Lahan perkebunan sebelum digarap akan dikeringkan dengan proses kanalisasi sehingga gambut yang ada di bawah tanah menjadi kering dan mudah terbakar. Bila sudah terbakar, lahan gambut yang ada puluhan meter di bawah tanah sulit dipadamkan.

Saksikan selengkapnya kabut asap yang hingga kini tak kunjung padam dalam tayangan Barometer Pekan Ini yang ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Sabtu (17/10/2015) di bawah ini. (Vra)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya