Bank Dunia Bandingkan Kondisi Ekonomi Indonesia dan Turki

Bagaimana perbandingan ekonomi antara Indonesia dan Turki?

oleh Tommy K. Rony diperbarui 12 Sep 2018, 08:41 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2018, 08:41 WIB
Menang Pemilu Turki, Erdogan Sapa Ribuan Pendukung di Ankara
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan istri, Emine menyapa pendukung Partai AKP di Ankara, Turki, Senin (25/6). Pemilu ini untuk pertama kalinya digelar sejak Turki mengubah sistem parlementer ke presidensial. (Presidency Press Service via AP, Pool)

Liputan6.com, Jakarta - Negara-negara berkembang atau emerging market tengah mengalami guncangan ekonomi. Salah satu yang terparah adalah Turki, dan nilai mata uang lira sampai kehilangan 40 persen dari nilainya terhadap dolar AS tahun ini.

Apa yang terjadi di Turki mendapatkan sorotan dari seluruh dunia, dan sekarang kondisi rupiah pun sedang volatile. Tetapi, kondisi Turki dan Indonesia jauh berbeda.

Ini dipastikan oleh Country Director of the World Bank Indonesia Rodrigo Chaves. Dia menerangkan bahwa memang ada kejadian-kejadian ekonomi di dunia, seperti perang dagang dan potensi Brexit. Namun, menurutnya, Indonesia berhasil merespons dengan baik.

"Pasar melihat bagaimana kebijakan serta respons dari pemerintah, dan kami melihat sebuah kabinet yang bekerja sangat baik bersama-sama dalam menangani isu fiskal, dan sebuah bank sentral independen yang telah menunjukkan komitmen pada stabilitas," ujarnya saat ditemui Liputan6, pada Jumat (7/9/2018).

Chaves turut memuji Gubernur BI Perry Warjiyo yang telah menaikkan suku bunga sampai 5,5 persen, juga karena komitmen Perry untuk tetap siaga dan proaktif. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun juga dipuji karena berkolaborasi dengan baik dengan Bank Indonesia.

Lebih lanjut, Chaves memberi contoh betapa berbedanya Indonesia dan Turki. Sementara kondisi Indonesia lebih kompak, apa yang terjadi di Turki justru sebaliknya. Di sana, pemerintahan Erdogan terang-terangan menentang rencana kenaikkan suku bunga oleh bank sentral.

"Pemerintahan dan bank sentral (di Turki) tidak bekerja bersama. Faktanya, mereka memberi pesan yang berbeda. Jadi, tidak adanya kredibilitas kebijakan, serta respons, terhadap kejadian eksternal. Itulah mengapa pasar, di antara banyak pihak lainnya, telah menghukum pemimpin Turki sedemikian rupa," jelas Chaves.

Pihak Bank Dunia pun memastikan kondisi Indonesia sekarang tidak sama dengan 1998 ketika rupiah terdepresiasi sebanyak 32 persen dalam semalam. Depresiasi rupiah pada 2013 pun sebetulnya lebih parah, yakni 21 persen ketika ada situasi global, yakni taper tantrum.

"Hari ini, fundamental ekonomi negara ini lebih kuat. Inflasi lebih rendah, dan ada cadangan yang cukup, serta cadangan moneter internasional. Kebijakan fiskal sangat pruden, kebijakan moneternya kredibel. Ini artinya , garis pangkal terhadap situasi sekarang lebih kuat," ucap Chaves.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kondisi Rupiah Disebut Mirip 1998, Ekonom Senior UI Tegaskan Hoaks

Petani Timun Suri
Petani memanen timun suri di areal pertanian Kampung Kemang, Bogor, Kamis (17/5). Timun suri merupakan buah favorit pada bulan Ramadan untuk sajian buka puasa yang dijual dari Rp 5.000 - Rp 8.000 per buahnya. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, Liputan6.com turut mewawancara  Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia sekaligus Komisaris Utama BNI Ari Kuncoro. Ia menegaskan menyebut Indonesia persis seperti 1998 adalah hoaks belaka. 

"Jadi, kalau membandingkan itu harus apel dengan apel. Jadi kalau kita membandingkan kita harus lihat mulainya itu dari mana. Kalau dari 98, itu kita mulai dari Rp 2.500, Rp 3.000, kemudian terjadi tekanan sehingga sampai ke Rp 10 ribu," jelasnya saat ditemui di Jakarta, Kamis (6/9/2018).

Ia menjelaskan, persentase kenaikan rupiah pada 1998 yang terbilang tinggi tidak sama dari kenaikan sekarang. "Kalau dilihat dari April, itu (rupiah) sekitar Rp 13.500, sekarang Rp 14.938. Itu kalau kita lihat sekadar 11 persen (kenaikannya)," ucap dia.

Ari tidak segan menyebut berita-berita negatif terkait rupiah sebagai hoaks. Ditambah lagi, penyebaran berita seperti itu hanya menambah ketidakpastian yang merugikan semua orang.

"Jadi hoaks-hoaks seperti itu tidak produktif, karena ini dampaknya global, jadi tidak perlu nakut-nakutin, sebab situasi ini temporer," tegas dia. 

Permasalahan lain dari penyebaran hoaks, seperti tentang potensi krisis, adalah bisa membuat paranoid orang-orang awam. Pasalnya, mereka akan terpengaruh untuk menyimpan dolar tanpa tujuan produktif. Permintaan dolar pun meningkat tanpa guna yang jelas.

"Adanya hoaks itu, bagi orang yang sebenarnya awam, itu akan menimbulkan kebutuhan yang tidak perlu pada dolar. Dia akan menyimpan (dolar), bukan untuk kegiatan produktif, tapi berjaga-jaga, dan itu menyimpannya di bawah bantal," tegasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya