Liputan6.com, Jakarta - Tindakan dokter forensik RS Polri Kramatjati yang tidak mengautopsi jasad Wayan Mirna Salihin secara keseluruhan, menjadi celah bagi pengacara Jessica Wongso untuk meragukan Mirna meninggal karena racun sianida berdosis tinggi.
Sebab, fakta yang ditemukan hanya ada 0,2 miligram sianida di lambung Mirna, di mana jumlah tersebut dinilai tidak mematikan.
Pihak Jessica pun semakin ragu kala ahli toksikologi dari Universitas Udayana I Made Agus Gelgel Wirasuta mengatakan, parameter seseorang terpapar sianida dosis tinggi adalah ditemukannya senyawa thiocynate di organ hati Mirna. Kenyataannya thiocynate tak ditemukan di organ hati Mirna.
"Di kedokteran forensik, tidak ada instrumen hukum yang melindungi ahli kedokteran forensik untuk melakukan outopsi. Ini harus faktor kerelaan dan izin keluarga. Ini adalah faktor sosiologis. Di Indonesia memerlukan persetujuan keluarga," bela Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ardito Muwardo atas tindakan dokter forensik yang tak mengautopsi seluruh organ tubuh Mirna, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2016).
Keputusan dokter forensik RS Polri Kramatjati yang hanya membedah organ pencernaan Mirna, dijelaskan Ardito sebagai win win solution di tengah situasi keluarga yang keberatan jasad Mirna diautopsi dan kepentingan polisi untuk memastikan penyebab kematian tak wajar Mirna.
"Dalam kasus ini tidak didapat (izin keluarga), maka yang dilakukan hanya kompromi. Kalau tidak bisa autopsi dengan pembedahan, apa saja yang kemudian dibutuhkan (untuk mencari penyebab tewasnya Mirna). Yah akhirnya dengan cara pengambilan sampel," terang Ardito.
Dua ahli racun yakni Wirasuta dan Nur Samran Subandi menjelaskan, dosis 0,2 miligram racun sianida di lambung Mirna merupakan sisa sianida yang belum menguap setelah berhari-hari Mirna tewas.
Namun, penasehat hukum Jessica menganggap argumentasi kedua ahli tidak dilandasi hasil pemeriksaan forensik yang kuat.
Advertisement
Â