Liputan6.com, Jakarta - "Tanya di sana (penyidik KPK) saja," kata Ketua Komisi V DPR, Fary Djemy Francis, usai diperiksa KPK, Rabu 21 September 2016.
Dia enggan berkomentar soal 'rapat setengah kamar' yang disebut Damayanti Wisnu Putranti dalam sidang. Rapat yang membicarakan 'jual beli' dana aspirasi terkait kasus dugaan suap proyek jalan di Maluku dan Maluku Utara pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Rapat tertutup tersebut dihadiri oleh pimpinan Komisi V DPR dan Kementerian PUPR.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berusaha mengorek tentang rapat itu ke sejumlah saksi, di antaranya Fary.
Advertisement
Politikus dari Fraksi Partai Gerindra itu diperiksa sebagai saksi dalam perkara yang menjerat koleganya di Komisi V, Andi Taufan Tiro.
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka ATT," ujar Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, di Jakarta, Rabu.
Fary diperiksa lantaran diduga kuat mengetahui seluk beluk kasus ini. Terlebih, Damayanti pernah menyebut Fary hadir dalam rapat tersebut.
Bersamaan dengan pemeriksaan Fary, KPK juga memeriksa Direktur PT Reza Multi Sarana, Rizal dan karyawan honorer Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Ayu Mega Sari, kemarin.
Pada kasus ini, KPK menjerat tiga anggota Komisi V sebagai tersangka, yakni Damayanti Wisnu Putranto, Budi Supriyanto, dan Andi Taufan Tiro. Ada dugaan, masih banyak anggota Komisi V yang terlibat dalam kasus ini.
Damayanti Wisnu Putranti, dalam persidangan, pernah menyebut ada rapat setengah kamar di Komisi V. Rapat setengah kamar itu merupakan rapat tertutup antara pimpinan Komisi V DPR dan Kementerian PUPR.
Pejabat Kementerian PUPR yang hadir di antaranya Sekretaris Jenderal Taufik Widjojono, serta Kabiro Perencanaan dan Anggaran Hasanuddin.
Kemudian pimpinan Komisi V, antara lain Kapoksi Hanura Fauzi Amroh, Kapoksi PKB Mohamad Toha, Wakil Ketua Komisi V Lazarus, dan Michael Wattimena serta Ketua Komisi V Fary Djemy Francis.
Damayanti menyebut ada dugaan 'jual beli' dana aspirasi dalam rapat tertutup tersebut. Dugaan 'jual beli' itu maksudnya, jika keinginan pimpinan Komisi V soal pagu anggaran dana aspirasi ditolak Kementerian PUPR, maka pimpinan Komisi V tidak akan menyetujui Rancangan APBN yang diajukan kementerian yang dipimpin ‎Basuki Hadimuljono tersebut.
Sebaliknya, jika diterima maka pimpinan Komisi V akan memuluskan RAPBN yang diajukan Kementerian PUPR.
Dari situ pula muncul dugaan jatah-jatah nilai pagu anggaran yang bisa dinegosiasikan Komisi V DPR untuk program aspirasi. Kata Damayanti, anggota Komisi V mendapat nilai pagu sebesar Rp 50 miliar. Kapoksi Komisi V dapat jatah Rp 100 miliar. Sedangkan untuk pimpinan Komisi V sebanyak Rp 450 miliar.
Selain menetapkan 3 anggota Komisi V DPR sebagai tersangka, KPK juga menjerat 4 orang lainnya dengan UU Tipikor.Mereka adalah Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary, Abdul Khoir serta dua staf Damayanti, yakni Dessy A Edwin dan Julia Prasetyarini.
Abdul Khoir telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor. Dia divonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan. Khoir didakwa bersama-sama memberi suap kepada pejabat di Kementerian PUPR dan sejumlah Anggota dan Pimpinan Komisi V DPR.
Total uang suap yang diberikan Abdul sebesar Rp 21,38 miliar, SGD 1,67 juta, dan USD 72,7 ribu. Suap diberikan oleh Abdul bersama-sama dengan Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa So Kok Seng alias Aseng dan Direktur PT Sharleen Raya (JECO Group) Hong Arta John Alfred.Pengungkapan kasus suap ini tidak hanya sampai di sini. KPK masih berencana memeriksa sejumlah pihak terkait suap proyek jalan tersebut.