Liputan6.com, Jakarta - Seorang nenek bernama Hindun binti Raisman menjadi korban panasnya Pilkada DKI Jakarta. Di akhir hidupnya, Nenek Hindun justru dibebani kepentingan politik sejumlah pihak yang ingin menjatuhkan salah satu pasangan calon di Pilkada DKI Jakarta putaran dua.
Jenazah Nenek yang beralamat di Jalan Karet II, Setiabudi, Jakarta Selatan, itu ditolak disalatkan pihak musala yang dekat dengan kediamannya. Belakangan diketahui di musala tersebut terpasang spanduk penolakan mengurus jenazah yang mendukung penista agama semasa hidupnya.
Pihak keluarga menilai penolakan tersebut lantaran Nenek Hindun memilih calon gubernur petahana DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada Pilkada DKI 2017 putaran pertama, 15 Februari 2017 lalu.
Advertisement
Soal penolakan mengurus jenazah sesama muslim karena soal politik dan kepentingan bukan hal baru di Indonesia. Puluhan tahun sebelum kisah Nenek Hidun, kasus serupa pernah terjadi, pasca-Gerakan 30 September (G30S) di Jakarta.
Cerita tersebut terungkap dalam pidato Bung Karno pada 18 Desember 1965 di hadapan para aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.
Dikutip dari buku Revolusi Belum Selesai, Bung Karno saat itu sangat marah atas terjadinya tragedi pembunuhan terhadap pihak yang diduga sebagai pengikut PKI saat itu.
Kegeraman makin memuncak karena banyak korban pembunuhan yang beragama Islam, tapi jenazahnya tidak diurus dan ditelantarkan begitu saja.Â
"Itu jenazah yang lehernya tergorok, yang kepalanya pecah dikepruk. Jenazah ini kalau ada yang mau ngerumat (mengurus) justru dilarang. Awas kalau berani ngerumat, engkau pun akan kami bunuh. (Akhirnya) Malah banyak jenazah yang di-kleler (terlantarkan) kan begitu saja," ucap Bung Karno.
Sukarno pun menyayangkan tindakan umat saat itu. Menurut dia, setiap muslim berhak diurus jenazahnya secara baik dan layak sesuai dengan syariat Islam, lepas dari keyakinan politik maupun paham yang dianut.
"Orang yang berbuat begini, membunuh kemudian mayatnya diklelerkan (ditelantarkan), sebetulnya menentang fardu kifayah Islam," ucap dia.
Bung Karno mengakui memang ada salah satu ayat dalam Alquran, yaitu dalam Surat Attaubah ayat 84, yang melarang kaum muslim menyalatkan jenazah orang-orang yang tergolong munafik.
Namun demikian, dia berkeyakinan mereka yang tewas tersebut tetap berhak diurus dengan layak, seperti kaum muslim lain.
"Menurut pemikiran saya yang picik, mengurus jenazah ini fardu kifayah. Jadi kalau ada jenazah diklelerkan begitu saja, engkau, aku ikut bertanggung jawab, karena itu hukumnya fardu kifayah," ucap Bung Karno.