4 Fakta di Balik Sindikat Penipuan Siber

Padahal ratusan WNA penipu sudah dibekuk, namun kejahatan ini tak kunjung mereda. Malah seakan menjamur.

oleh Hanz Jimenez SalimMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 01 Agu 2017, 13:16 WIB
Diterbitkan 01 Agu 2017, 13:16 WIB
20151216-Terlibat Cyber Crime, Ditjen Imigrasi Deportasi 50 WNA -Jakarta
Sejumlah orang WNA Taiwan saat akan di pulangkan ke negara asalnya, dari Kalideres, Jakarta, Rabu (16/12). Direktorat Jenderal Imigrasi mendeportasi 49 WN Taiwan dan satu WN Tiongkok terkait tindak pidana kejahatan siber. (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - Para penjahat siber tengah menyerbu Tanah Air. Kebanyakan mereka berasal dari negeri Tiongkok dan Taiwan. Yang bikin miris, mereka tak cuma beraksi di satu kota.

Setidaknya tiga kota di Tanah Air sudah 'terinfeksi' kejahatan mereka, yakni Jakarta, Bali, dan Surabaya. Padahal ratusan WNA sudah dibekuk, namun kejahatan ini tak kunjung mereda. Malah seakan menjamur.

Mereka jauh-jauh ke negeri orang untuk menjerat para pejabat dari negara mereka sendiri. Tak cuma itu, masih ada sederet fakta lain di balik aksi kejahatan siber para WNA dari Tiongkok dan Taiwan ini.

Berikut catatannya yang dihimpun Liputan6.com, Selasa (1/8/2017):

1. Pura-pura Jadi Jaksa

Dalam aksinya, mereka menggunakan data-data nasabah bank di China dan Taiwan. Lalu sindikat itu menghubungi para korbannya dengan menyamar seolah-olah dari instansi penegak hukum di Taiwan.

Para sindikat kejahatan siber itu ada yang berpura-pura sebagai polisi, jaksa atau petugas bank. Kemudian mereka mengatakan kepada korban, bahwa si korban sedang diselidiki karena terkait kasus pidana.

Setelah para korban ketakutan, lalu para sindikat ini meminta sejumlah uang untuk ditransfer kepada mereka. Tujuannya untuk menghentikan kasus pidana yang seolah-olah sedang mereka lakukan.

Mereka yang menjadi korban tersadar ketika sudah mengirimkan sejumlah uang. "Selanjutnya melaporkan peristiwa tersebut ke Kepolisian China," tutur Karopenmas Polri Brigjen Rikwanto kepada Liputan6.com pada 29 Juli 2017.

Kejahatan di Balik Kejahatan

2. Kejahatan di Balik Kejahatan

Diduga ada kejahatan lain di balik aksi puluhan WNA sindikat penipuan pejabat negaranya itu. Hal ini lantaran mereka tidak memiliki paspor.

Polisi tidak menemukan paspor ratusan WN China yang diringkus serentak pada Sabtu 29 Juli 2017, baik di Surabaya, Denpasar, dan Jakarta. Ada dugaan keterlibatan broker paspor yang memegang benda penting tersebut.

Dirjen Imigrasi Ronny Sompie mengatakan, masuknya puluhan WNA asal Tiongkok dan Taiwan ini ada kemungkinan lain selain kejahatan siber. Seperti adanya dugaan mereka korban dari tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

"Kegiatan dengan tujuan khusus untuk melakukan cyber crime pasti ada sindikat pengelolanya," ujar Sompie di Kantor Kemenkumham, Jakarta Selatan pada 31 Juli 2017.

"Sindikat ini bisa saja memastikan bahwa orang-orang ini tidak melarikan diri, maka paspornya dipegang saat ada di Indonesia," dia melanjutkan.

Ronny mengatakan, kasus sindikat penipuan ini terjadi di dua lokasi kejahatan, yakni Indonesia dan Tiongkok. Karena itu, polisi bisa membuktikan kasus kejahatan siber lebih dulu, baru dilanjutkan kasus perdagangan orang.

"Cyber crime ini ada dua locus delicti (tempat kejadian perkara), Indonesia dan China, maka kita bisa membuktikan dulu kasus cyber crime-nya untuk kita bawa kepada kasus TPPO (tindak pidana peredagangan orang)," Ronny melanjutkan.

Menurut Ronny, perdagangan orang bisa menyasar pada mereka yang menjadi pekerja untuk tindak kejahatan.

"Operator-operator itu bisa jadi korban TPPO, jadi modus cyber crime untuk membuktikan adanya sebuah kegiatan bekerja dengan manajemennya, sehingga membuat orang lain jadi korban TPPO," Ronny menandaskan.

3. Rumah Mewah

Sebuah rumah mewah di Jalan Sekolah Duta, Pondok Indah, Jakarta Selatan digunakan oleh para pelaku komplotan penipu internasional. Sebanyak 29 WNA asal China diamankan dari rumah mewah tersebut.

Pemilik rumah bernama Anton Sudarto (77) mengaku tak tahu bila rumahnya itu disewa untuk dijadikan markas para pelaku tindak kejahatan siber internasional.

Anton mengatakan rumahnya itu disewa oleh seseorang berinisial Y pada Agustus 2015 silam. Y, sambung Anton, mengaku tinggal di daerah Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara.

"Ya, tahu orangnya jumpa sama saya. Namanya, inisialnya Y. Tinggalnya Pantai Indah Kapuk, ngakunya ya," ucap Anton.

Y mengaku kepada Anton bahwa rumah yang akan disewanya bakal digunakan untuk menyimpan barang. Anton mengatakan jarang melihat Y mampir ke rumah yang telah disewanya. Bahkan, beberapa kali rumah tersebut tak ada aktivitas yang mencolok.

"Dia (Y) bilang rumahnya direnovasi. Di sini sewa untuk naruh barang Dia (Y) ngakunya hanya dua tahun," terang Anton.

Tak hanya di Jakarta, polisi juga menggerebek sindikat kejahatan ini di sejumlah daerah. Di Surabaya, sebanyak puluhan WNA diamankan di perumahan elite Graha Family, tepatnya di Mutiara Golf Blok N 1, Surabaya. Dalam operasinya, tertangkap 93 warga China dan Taiwan serta satu warga negara Malaysia.

Selain itu, kejadian serupa juga terjadi di Benoa Bali. Ada 48 orang diamankan di lokasi tersebut.

Kenapa Indonesia?

4. Kenapa ke Indonesia?

Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Ari Dono Sukmanto mengungkapkan Indonesia masih menjadi lahan empuk bagi para pelaku penipuan siber. Apalagi menurut dia kejahatan ini masih dianggap enteng oleh pemerintah.

"Terlebih lagi jika ada perspektif yang memandang bahwa kejahatan ini sekadar tindak pidana remeh," ucap Ari dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (30 Juli2017).

"Lokasi kejahatan modern sejenis itu tidak lagi mengenal batas negara. Terlebih lagi jika para sindikat itu melihat celah potensi melakukan aksinya karena negara tersebut masih kurang up to date regulasinya terkait transnational crime," sambung dia.

Menurut dia, perlu adanya peningkatan regulasi atau aturan tentang teknologi informatika sehingga dapat menekan praktik kejahatan serupa.

Oleh karena itu, mantan Kapolda Sulawesi Tengah itu meminta stakeholder terkait untuk memperketat regulasi tentang telekomunikasi dan informatika. Misalnya dengan mewajibkan para pemilik SIM Card telepon genggam mengisi identitas.

"Atau juga bank hingga leasing yang pastinya selalu bersentuhan dengan data nasabah," lanjut Ari.

Di sisi lain, Ari melihat, sebenarnya tindak pidana penipuan melalui telepon ini sangat serius juga kerap terjadi di Indonesia.

"Artinya, kejahatan yang kerap dianggap remeh itu sebenarnya sangat serius. Buktinya sindikat itu mau mengeluarkan modal untuk melakukan kejahatannya dengan pindah lokasi di negara lain. Tentunya agar tak langsung terdeteksi. Meski saat telah tertangkap, Indonesia pasti mendeportasi mereka agar menghadapi jerat hukum yang tegas di negaranya masing-masing," ujar Ari.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya