Liputan6.com, Jakarta - Pengamat hukum tata negara Universitas Padjajaran I Gde Pantja Astawa berpendapat dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Badan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung bisa batal demi hukum.
Hal tersebut terjadi jika dalam pembuktian nanti majelis hakim Tipikor menemukan penyimpangan dalam Audit Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 25 Agustus 2017 yang dijadikan alat bukti.
"Apa yang di-publish bisa batal demi hukum karena tidak mengindahkan norma hukum yang ada. Maka kalau audit BPK 2017 ini terbukti menyimpang dari peraturan yang ada, harus batal demi hukum dan Pak Temenggung harus dibebaskan," ujar Pantja saat dikonfirmasi, Senin (28/5/2018).
Advertisement
Dia juga sependapat dengan eksepsi mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu yang menyoroti laporan audit BPK 2017. Dalam eksepsinya, Syafruddin menyatakan laporan audit BPK yang mendasarkan pada data-data sekunder, yakni sebatas yang disodorkan oleh pihak penyidik KPK.
"Apa pun datanya, primer atau sekunder, itu tetap harus dikonfirmasi kepada pihak auditee-nya. Pihak yang diperiksa diberikan kesempatan untuk menanggapi. Tidak bisa ujug-ujug," tegasnya.
"Harus taat pada asas asersi, artinya dikonfirmasi dulu kepada auditee, yakni pihak yang diperiksa. Temuan kerugian itu ada atau tidak ada harus melalui konfirmasi kepada auditee," imbuh Pantja.
Ia mengingatkan, kerugian negara itu harus nyata dan pasti, tidak bisa memakai istilah dugaan. Sebab, dia menilai audit BPK 2017 banyak terdapat istilah "dugaan".
"Itu rumusannya ada di Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Bahwa kerugian negara adalah kekurangan uang, barang, dan surat berharga yang nyata dan pasti jumlahnya. Tidak bisa dugaan, tidak bisa kira-kira, bukan pula potensial," jelasnya.
Eksepsi Syafruddin
Sebelumnya, Syafruddin menyampaikan eksepsi atas dakwaan jaksa dengan mempersoalkan audit investigatif BPK pada 25 Agustus 2017. Dia menilai audit pada 2017 itu bertolak belakang dengan audit BPK pada 30 November 2006 menyimpulkan tidak ada kerugian negara.
Syafruddin menyebut audit BPK 2017 menyalahi Peraturan BPK No 1 Tahun 2017 butir empat yang menyebutkan suatu laporan audit harus memiliki auditee atau pihak yang bertanggung jawab dan menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan lisan/tertulis dari pihak yang diperiksa.
Syafruddin juga menganggap audit 2017 menyampaikan tentang batasan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara hanya sebatas mengungkap dan menghitung kerugian keuangan negara.
Kerugian keuangan negara itu timbul akibat penyimpangan oleh pihak terkait dalam proses penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada SN selaku pemegang saham BDNI pada tahun 2004, berdasarkan bukti yang diperoleh melalui penyidik KPK sampai dengan 25 Agustus 2017.
Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN periode 2002-2004 didakwa bersama-sama dengan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti, serta pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim merugikan keuangan negara.
Modusnya, yaitu dengan cara menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham, sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.
Saksikan video pilihan di bawah ini
Advertisement