Larangan Nyaleg Eks Napi Korupsi, KPU Dinilai Rampas Hak Warga Negara

Menurut Bamsoet, KPU akan menabrak undang-undang jika sampai membatasi hak warga negara untuk dipilih.

oleh Muhammad Ali diperbarui 28 Mei 2018, 15:32 WIB
Diterbitkan 28 Mei 2018, 15:32 WIB
KPU Gelar Sosialisasi Penetapan Dapil dan Alokasi Kursi Pemilu 2019
Ketua KPU Arief Budiman (tengah) memberikan keterangan saat rapat Penyampaian Penetapan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota DPRD Kab/Kota Pemilu 2019 di Kantor KPU Pusat, Jakarta, Rabu (18/4). (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPR Bambang Soesatyo mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar tak melanggar undang-undang terkait rencana pelarangan terhadap mantan napi korupsi maju sebagai calon anggota legislatif. Menurut dia, KPU akan menabrak undang-undang jika sampai membatasi hak warga negara untuk dipilih.

Bamsoet--panggilan akrab Bambang--mengatakan ikhtiar KPU menciptakan hasil proses demokrasi yang bersih bebas dari korupsi harus didukung.

"Tapi bersikukuh menjegal mantan terpidana korupsi untuk menggunakan hak dasarnya sebagai warga negara untuk dipilih sebagai calon legislatif, menurut saya kurang bijaksana,” ujar dia di Jakarta, Senin (28/5/2018).

Legislator Partai Golkar itu menjelaskan, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur mantan napi yang sudah menjalani masa hukuman 5 tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif selama yang bersangkutan mengumumkan diri ke publik mengenai kasus hukum yang pernah menjeratnya. Selain itu, ada syarat lain yang harus dipenuhi eks napi korupsi yang mau menjadi caleg.

"Antara lain yang bersangkutan harus mendeklarasikan secara jujur bahwa mantan napi korupsi tidak dicabut haknya oleh keputusan pengadilan, melewati jeda waktu lima tahun (jika tuntutan hukumannya di atas lima tahun), serta menunjukkan penyesalan dan berkelakuan baik selama menjalani tahanan serta tidak mengulangi perbuatannya,” sebut Bamsoet.

Karena itu, Bamsoet mengaku setuju dengan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang yang berpendapat agar mantan napi korupsi tetap diberi kesempatan menjadi caleg sepanjang memenuhi syarat dan telah menyesali perbuatannya. Sebab, tidak baik pula menghukum orang berkali-kali hanya karena satu kesalahan.

Menurut Bamsoet, jika KPU tetap bersikukuh melarang eks napi korupsi menjadi caleg, hal itu malah melampaui kewenangan sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Apalagi dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II DPR, pemerintah dan Bawaslu juga tak sepakat dengan usulan KPU.

"Sikap KPU itu terlampau berlebihan dalam membangun pencitraan lembaganya. Sebab UU sudah mengatur mengenai hak-hak seorang warga negara termasuk para mantan terpidana. Dan keputusan seseorang kehilangan hak-hak politiknya itu ada di pengadilan, bukan diputuskan dalam aturan yang letaknya di bawah UU,” ujar Bamsoet.

 

Melawan UU

Gerakan Coklit Serentak Pemilu 2019
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan melaksanakan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih Pemilu 2019 secara serentaK. (Merdeka.com/ Iqbal S. Nugroho)

Menurut dia, jika KPU masih bersikukuh mengeluarkan larangan bagi mantan napi korupsi untuk menjadi caleg, hal itu sama saja melawan UU.

"Atau kalau mau, kita amendemen saja dulu konstitusi kita agar KPU diberikan hak untuk membuat UU sendiri sekaligus melaksanakannya sendiri,” kelakarnya.

Selain itu, Bamsoet menegaskan, KPU sama saja merampas hak-hak dasar warga negara untuk dipilih jika tetap melarang eks napi korupsi maju sebagai caleg. Mantan ketua Komisi Hukum DPR itu menegaskan, mantan narapidana setelah menjalani hukuman dan kembali ke masyarakat maka hak dan kewajibannya sama dengan warga negara lainnya.

"Itu dijamin dalam konstitusi kita. Kecuali pengadilan saat memutus perkara, memutuskan pencabutan hak politiknya. Soal apakah yang bersangkutan (caleg mantan napi korupsi) akan terpilih atau tidak, serahkan saja kepada masyarakat,” pungkas Bamsoet.

 

Saksikan tayangan video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya