Liputan6.com, Jakarta - Iring-iringan mobil dan truk milik Pemprov DKI memecah jalan di Pulau D, hasil reklamasi di Teluk Jakarta, Kamis (7/6/2018) siang. Ratusan orang berpakaian seragam coklat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) keluar ketika kendaraan-kendaraan itu berhenti.
Dipimpin Kepala Satpol PP DKI Yani Wahyu Purwoko, mereka menggelar apel singkat. Selanjutnya petugas Satpol PP dibagi ke dalam lima kelompok. Masing-masing tim menyebar ke titik yang telah ditentukan, berbekal spanduk dan poster segel berwarna merah.
Siang itu sebanyak 300 anggota Satpol PP mendapat tugas menyegel bangunan di Pulau D. Perintah datang dari Gubernur DKI Anies Baswedan.
Advertisement
Berdasarkan data Pemprov DKI, di sana terdapat 932 bangunan. Sebanyak 621 unit di antaranya sudah rampung, 311 sisanya masih dalam proses pengerjaan.
Pulau Reklamasi D menjadi lokasi Proyek Golf Island Pantai Indah Kapuk. Lahan itu dikelola oleh PT Kapuk Niaga Indah. Sementara, hak milik tanah ada di tangan Pemprov DKI Jakarta.
Pengelola itu tetap melanjutkan proyek pembangunan di Pulau D meski sudah dilarang Pemprov DKI lantaran belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Iwan Kurniawan, Kepala Seksi Penindakan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (Citata)DKI Jakarta, menjelaskan penyegelan di Pulau D bukan yang pertama.
Pemprov DKI, di masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, juga pernah mengeluarkan surat segel Nomor 831/076.93/SS/U/VII/2015 tertanggal 29 Juli 2015 dan Surat Perintah Bongkar Nomor 1000/076.93/SPBU/VII/2015 tertanggal 24 Agustus 2015.
Liputan6.com mencatat penyegelan pernah dilakukan lagi pada 13 April 2016. Namun, seiring berjalannya waktu, pembangunan kembali berjalan di Pulau D hasil reklamasi.
Padahal, Direktur PT Kapuk Naga Indah, dalam surat pernyataan tertanggal 7 April 2016, menyatakan akan menghentikan kegiatan hingga diterbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Karena itu, Pemprov DKI kembali mengambil langkah tegas. "Ini sudah pernah disegel segala macam, kok bandel lagi," kata Iwan kepada Liputan6.com.
Keberadaan bangunan di Pulau Reklamasi D dianggap melanggar setidaknya lima aturan. Ada dua undang-undang, dua perda dan satu pergub yang diterabas.
Kuasa Hukum PT Kapuk Niaga Indah, Kresna Wasedanto, menolak mengomentari penyegelan Pulau D. "Maaf saat ini saya nggak dalam kapasitas untuk komentar," katanya melalui aplikasi pesan.
Dihubungi terpisah, Pengamat Tata Kota Nirwono Joga setuju dengan langkah penyegelan Pemprov DKI. Namun, menurut dia, nasib bangunan di pulau reklamasi harus diputuskan dengan bijak. Untung-ruginya harus ditimbang baik-baik.
Nirwono mengatakan, ada banyak opsi yang bisa diambil Pemprov DKI. Yang pasti, ia berharap pulau reklamasi dikembangkan untuk keperluan publik.
Ia berpendapat, kawasan pulau reklamasi bisa dikembangkan menjadi ruang terbuka hijau atau hutan lindung. Alternatif lain adalah membangun stadion dan kompleks olahraga tingkat internasional.
Bila opsi itu diambil, Nirwono mengingatkan perlu dipertimbangkan siapa yang akan melakukan pembongkaran gedung yang sudah berdiri dan menanggung biayanya. Tapi, ia lebih berharap gedung yang terlanjur berdiri tidak dirobohkan.
"Kalau dilihat kondisi di lapangan, sebaiknya bangunan tidak dibongkar, tetapi harus dipikirkan bangunan tersebut mau diapakan, dijadikan apa, ini yang perlu didiskusikan jalan keluarnya dengan bijak dan berkeadilan," kata dia kepada Liputan6.com.
Yang jelas, menurut Nirwono, Pemprov DKI harus segera mengambil keputusan. Kebijakan itu nantinya akan memberi kepastian berusaha bagi investor yang sudah mengucurkan modal besar untuk pembangunan di Pulau D.
"Kepastian kepada para pengembang yang sudah terlanjur membangun pulau-pulau tersebut, termasuk menghadapi gugatan hukum atau langkah hukum lainnya," kata Nirwono.
Menurut dia, konsumen yang dirugikan penyegelan tidak bisa meminta ganti rugi ke Pemprov DKI. Mereka, lanjut Nirwono, harus menuntutnya ke pengembang.
"Sementara pengembang tidak bisa minta ganti rugi ke Pemprov DKI, bahkan sebaliknya pengembang bisa dijatuhi sanksi karena sejak awal melakukan pelanggaran dalam reklamasi," ujar Nirwono.
Kepala Dinas Cipta Karya, Penataan Kota, dan Pertanahan DKI Jakarta Benny Agus Chandra belum bisa mengungkapkan nasib bangunan di Pulau D ke depan.
"Nanti kita diskusikan lebih lanjut. Karena meliputi juga aspek hukum. Aspek kalau dibeli konsumen, aspek kepastian terhadap konsumen dan lain-lain. Kita pertimbangan dari berbagai aspek," katanya pada Liputan6.com.
Nantinya, lanjut dia, Pemprov DKI akan mengaudit bangunan di Pulau D. Sejauh ini Pemprov hanya memberi sanksi administrasi berupa penyegelan.
Benny menegaskan institusinya berpegang pada aturan hukum. Ia pun menyatakan siap bila pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan.
"Kita sesuai dengan aturan dan kita harap pihak-pihak lain juga mengikuti aturan yang sudah ada. Tetapi kalau ada yang merasa kami melanggar ya silahkan saja," ia menandaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pro dan Kontra Reklamasi
Bagi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, penyegelan Pulau D merupakan bukti pernyataan yang selalu disampaikannya berulang-ulang.
"Kita menegaskan kepada semua bahwa kepada semua bahwa di DKI Jakarta kita akan menegakkan aturan kepada semua, bukan hanya tegak kepada mereka yang kecil dan lemah, tetapi kepada mereka yang besar dan kuat," kata Anies.
Ia mengkritik pengembang Pulau D yang menabrak sejumlah aturan. Menurut Anies, pembangunan di pulau reklamasi harus mematuhi semua tata cara yang berlaku.
"Republik ini, harus berwibawa di mata semua, jangan sampai republik ini kendor longgar dan justru takluk melihat Pembangunan seperti ini dilakukan tanpa izin," kata Anies.
Penyegelan bangunan di Pulau D, lanjut Anies, membuktikan tak ada ruang bagi pelanggaran izin. Ia juga memerintahkan Satpol PP DKI melakukan patroli mengawasi implementasi penyegelan.
"Satpol PP akan mengawasi lokasi ini sehingga tidak ada kegiatan di tempat ini," kata dia.
Anies kembali mengingatkan janji kampanyenya untuk menghentikan reklamasi. Sikap itu juga dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta 2018-2022.
Dokumen itu tidak menyinggung keberadaan pulau reklamasi. Menurut Anies, hal itu menjadi bukti komitmennya menghentikan megaproyek tersebut.
"Yang jelas kan kita enggak akan melakukan reklamasi di RPJMD kan. Ya berarti berhentilah," kata Anies di Balai Kota Jakarta, April lalu.
Meski tak merinci posisi pulau reklamasi dalam rencana pembangunan DKI, Pemprov tak lantas mengabaikannya begitu saja. Kajian dan audit dilakukan terhadap pulau C, D, G, dan K yang telah direklamasi.
Namun, kajian terhadap pulau reklamasi tak serta-merta mengindikasikan Pemprov DKI akan mengambil alih proyek reklamasi. Anies menegaskan reklamasi akan dihentikan.
Kala itu, ia juga sempat memberi ancar-ancar ke mana arah pemanfaatan pulau-pulau itu ke depan. "Dari dulu kita mengatakan adalah kita akan memanfaatkan pulau itu untuk kepentingan publik," ujar Anies.
Pendapat Ahok soal Reklamasi
Pada 2016 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel tiga pulau reklamasi C, D dan G. Ahok kala itu menilai, itu adalah tindakan yang wajar.
"Saya kira penyegelan sesuai karena kerja di lapangan dianggap melanggar dengan Amdal yang ada," kata Ahok di RPTRA Penggilingan, Jakarta Timur, Kamis (12/5/2016).
Ahok menjelaskan, para pengembang diberi waktu 90 hari untuk mengurus perbaikan Amdal. Khusus untuk PT KNI, anak perusahaan Agung Sedayu Group, diberi waktu 120 hari untuk membelah Pulau C dan Pulau D yang menyatu.
Dalam debat Cagub DKI 2017 putaran kedua di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Jumat 27 Januari 2017 malam, Ahok mengungkapkan pembelaannya terkait proyek reklamasi.
"Banyak yang menuduh kami tak membela rakyat kecil, banyak yang tak tahu kalau proyek reklamasi sudah ada sejak era Presiden Soeharto," ujar Ahok.
Ditegaskan dia, pulau yang saat ini direklamasi sama sekali tak beralih kepemilikan. "Pulau yang direklamasi sertifikatnya atas nama Pemda DKI. Lahan yang bisa dijual pun 5 persen masih milik DKI," jelas Ahok.
Ahok menilai reklamasi bisa digunakan untuk menggenjot ekonomi. Hitung-hitungan di atas kertas, proyek tersebut bisa menyerap tenaga kerja setidaknya 1 juta orang.
Reklamasi juga dianggap salah satu cara mengatasi masalah lingkungan dan lahan di Pantai Utara Jakarta. Kawasan utara Jakarta dianggap memiliki lingkungan buruk akibat permasalahan banjir rob, sampah, limbah. Sehingga pada tahun 1995, pemerintah pusat menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Dalam Keppres itu, Gubernur DKI Jakarta memiliki wewenang untuk memberikan izin reklamasi.
Advertisement
Polemik HGB di Pulau Reklamasi
Tak cuma soal IMB, polemik Pulau D juga membentang hingga urusan Hak Guna Bangunan (HGB). Perusahaan PT Kapuk Niaga Indah mendapat Hak Guna Bangunan atas lahan tersebut pada 24 Agustus 2017 lalu.
Dalam dokumen yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional, perusahaan itu kebagian HGB seluas 312 hektare. PT kapuk Niaga diberi izin memanfaatkan 52,5 persen dari area itu untuk kepentingan komersil.
HGB keluar saat pemerintah memoratorium reklamasi di Teluk Jakarta. Pemprov DKI pun melayangkan surat permohonan pencabutan Hak Guna Bangunan (HGB) atas Hak Pengelolaan pengembang pulau reklamasi kepada Badan Pertahanan Nasional (BPN) RI.
Gubernur Anies Baswedan beralasan, ada cacat administrasi dalam penerbitan HGB itu. Bahkan, Pemprov DKI menyatakan siap menanggung ganti rugi sebesar Rp 483 miliar.
"Permen Nomor 9 Tahun 1999. Peraturan Menteri Agraria, waktu itu namanya bukan agraria, dari Pasal 103 sampai 133 sampai 134 di situ mengatur mekanisme dan persyaratan pembatalan," ujar Anies Baswedan di Balai Kota Jakarta, pertengahan Januari lalu.
Kesalahan administrasi yang pertama, kata Anies, adalah belum adanya Perda Zonasi tentang reklamasi, tapi HGB dan zonasi sudah dikeluarkan. Kedua adalah tidak ada istilah pulau reklamasi pada raperda kawasan strategis pantai utara Jakarta.
"Di area itu ada enggak pulau? Enggak ada, itu bukan pulau, itu namanya pantai. Anda lihat kawasan strategis provinsi yang ada itu pantai A-E. Itu adalah namanya ya nama teknisnya pantai yang tersambungkan dengan daratan, itu nama teknisnya," kata Anies.
BPN menolak permohonan Pemprov DKI itu. Lembaga setingkat kementerian itu menilai, penerbitan HGB sudah sesuai prosedur dan ketentuan administrasi pertahanan yang ditetapkan.
Oleh karena itu tidak dapat dibatalkan dan berlakulah asas presumptio justae causa (setiap tindakan administrasi selalu dianggap sah menurut hukum, sehingga dapat dilaksanakan seketika sebelum dapat dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh hakim yang berwenang sebagai keputusan yang melawan hukum).
"Penerbitan HGB tersebut didasarkan pada surat-surat dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mendukungnya," tulis siaran pers BPN yang diterima Liputan6.com, Rabu (10/1/2018).
Sementara, Ketua DPRD DKI Jakarta Presetyo Edi Marsudi meminta Anies menghargai kebijakan pemerintah pusat yang sudah memberikan izin reklamasi.
"Soal HGB hargailah pemerintah pusat, Presiden sudah memberikan sertifikat, bagaimana kebijakan gubernur sekarang," kata Prasetyo di Gedung DPRD DKI, Selasa (16/1/2018).