MK Terima Gugatan soal Koruptor Ikut Pilkada

Mahkamah Konstitusi menerima sebagian uji materi UU Pilkada.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 11 Des 2019, 12:03 WIB
Diterbitkan 11 Des 2019, 12:03 WIB
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK)
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6/Putu Merta)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sebagian uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya pasal 7 ayat (2) huruf g. Gugatan ini diajukan oleh ICW dan Perludem.

Adapun pasal 7 ayat (2) huruf g berbunyi: "Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana". 

"Mengadili, dalam provisi mengabulkan permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman di ruang persidangan MK, Jakarta, Rabu (11/12/2019).

Dia juga menyebut dalam putusannya, pasal 7 ayat (2) huruf g, bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

"Dan tidak mempunyai hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap," ucap Anwar.

Sehingga, kata dia, pasal 7 ayat (2) huruf g berubah bunyinya menjadi:

Calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih kecuali terhadap pidana yang melakukan tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang berkuasa.

2. Bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.

3. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Kemudian dia kembali menegaskan, MK menolak permintaan ICW dan Perludem yang meminta masa jeda waktu sebanyak 10 tahun. MK hanya memberikan waktu 5 tahun bagi mantan napi usai menjalankan pidana penjara, untuk bisa mencalonkan diri dalam Pilkada.

"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," putus Anwar.

Saksikan video di bawah ini:

Pertimbangan

Dalam pertimbangannya, anggota Majelis Hakim MK Suhartoyo menjelaskan, usai melihat fakta empirik dengan mengembalikan ke masyarakat untuk memilih calon pemimpin, ternyata tidak sepenuhnya menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas.

"Sejumlah fakta empirik membuktikan kepala daerah yang terpilih yang pernah menjalankan masa pidana yang menjadi calon kepala daerah hanya mengambil alternatif mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, ternyata mengulangi kembali melakukan tindak pidana. Dengan kata lain, orang yang bersangkutan telah menjadi pelaku kejahatan berulang atau residivis," jelas Suhartoyo.

Menurut dia, di alam demokrasi dengan kenyataan seperti itu, pihaknya tidak memberikan toleransi terhadap keadaan tersebut.

"Sebab demokrasi bukan berbicara tentang perlindungan hak-hak individual, tetapi juga ditopang dengan nilai-nilai moralitas, diantaranya nilai kepantasan-probality, kesalehan-piousness, kewajaran-fairness, kemasukakalan-reasonableness, Dan keadilan-justice," tegas Suhartoyo.

"Sebab hakekat demokrasi sesungguhnya, tidak semata-mata pada peletakan pemenuhan kondisi siapa yang memperoleh sesuatu suara terbanyak rakyat, dia yang berhak memerintah. Melainkan lebih kepada tujuan akhir yang hendak diwujudkan, yaitu hadirnya pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat. Sehingga memungkinkan kehadiran kesejahteraan," lanjut dia.

Dia pun menjelaskan, pihaknya tak menerima permintaan 10 tahun dan memilih 5 tahun, lantaran menyesuaikan mekanisme 5 tahunan dalam pemilihan umum, sebagaimana putusan MK Nomor 04/PUU-XII/2009.

"Dipilihnya jangka 5 tahun untuk adaptasi, bersesuaian dengan mekanisme 5 tahunan dalam pemilihan umum atau pemilu di Indonesia. Baik pemilu legislatif, pemilu Presiden dan wakil presiden, dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya