Liputan6.com, Jakarta - Pro dan kontra tentang layak atau tidaknya Lili Pintauli Siregar menduduki kursi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih jauh dari berakhir. Alih-alih merasa aman dengan putusan Dewan Pengawas (Dewas) yang memberi sanksi berat atas pelanggaran etik, kini Lili kembali dilaporkan ke Dewas KPK.
Sebanyak empat pegawai nonaktif KPK melaporkan Lili Pintauli Siregar ke Dewas KPK. Lili dilaporkan atas kasus dugaan pelanggaran etik terkait pembohongan publik.
"Dugaan pembohongan publik ini adalah terkait konferensi pers yang dilakukan LPS (Lili) pada 30 April 2021 untuk menyangkal komunikasi dengan Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial," ujar pegawai nonaktif KPK, Rieswin Rachwell dalam keterangannya, Senin (20/9/2021).
Advertisement
Menurut Rieswin, saat melakukan jumpa pers Lili menyangkal berkomunikasi dengan Syahrial terkait penanganan kasus dugaan suap jual beli jabatan di Pemerintahan Kota (Pemkot) Tanjungbalai.
Namun dalam putusan etik, Dewas KPK menyatakan Lili terbukti berkomunikasi dengan Syahrial. Bahkan Lili disebut menyalahgunakan wewenangnya sebagai pimpinan KPK. Lili diketahui dijatuhi sanksi berat oleh Dewas KPK.
"Pernyataan LPS dalam konferensi pers tersebut jelas bertentangan dengan putusan Dewan Pengawas KPK," kata Rieswin.
Menurut Rieswin, berbohongnya Lili dalam jumpa pers merupakan pelanggaran kode etik. Dia menyebut, pembohongan publik itu sangat merendahkan martabat dan marwah KPK selaku lembaga pemberantas korupsi.
"Kami melaporkan LPS kepada Dewas karena kami malu ada lagi Pimpinan yang melanggar kode etik di KPK. Kami malu ada lagi pimpinan yang terbukti melanggar kode etik dan masih saja tanpa malu berbohong, tetap menjabat dan tidak mengundurkan diri," kata dia.
Tak hanya Lili, Dewas KPK juga terseret dugaan tak sedap atas sikapnya yang menolak untuk melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan Wakil Ketua KPK itu ke pihak kepolisian.
Menurut Mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko, penolakan Dewas melalui surat itu makin memperkuat dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Lili.
"Balasan Dewas memperkuat dugaan pidana, karena di poin dua Dewas menyatakan Lili diduga melakukan perbuatan pidana," ujar Sujanarko dalam keterangannya, Senin (20/9/2021).
Dalam poin dua surat penolakan melaporkan Lili, Dewas menyebut bahwa terkait permintaan kepada Dewan Pengawas untuk melaporkan perbuatan pidana yang dilakukan oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Oleh karena perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh Lili Pintauli Siregar merupakan rumusan delik biasa dan bukan delik aduan, sehingga siapa pun dapat melaporkan kepada penegak hukum oleh siapa pun dan tidak harus Dewan Pengawas yang melaporkannya.
Meski demikian, Sujanarko menyayangkan sikap Dewas KPK. Dia menilai Dewas KPK kurang tegas lantaran enggan melaporkan Lili ke penegak hukum. Menurutnya, Dewas KPK bisa melaporkan putusan etik ke penegak hukum jika ada bukti yang kuat.
"Dewas mempunyai fungsi pengawasan, sudah menjadi prinsip lembaga pengawas ini kalau menemukan dugaan perbuatan diproses pengawasan wajib melaporkan ke aparat penegak hukum," kata Sujanarko.
Sujanarko mengaku hingga saat ini belum melaporkan Lili ke aparat penegak hukum. Pasalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) sudah melaporkan dugaan pelanggaran pidana Lili ke penegak hukum.
"Kita sedang konsolidasi dengan teman-teman apakah masih perlu lapor juga ke Mabes Polri," kata Sujanarko.
Sebelumnya, polisi mengatakan akan melimpahkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar terkait dugaan pelanggaran hukum dalam Undang-Undang KPK ke lembaga antirasuah.
"Peristiwa yang disampaikan ICW dalam suratnya adalah domain KPK, penyidik akan melimpahkan suratnya ke KPK," tutur Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian Djajadi saat dikonfirmasi, Jakarta, Jumat (10/9/2021).
ICW sendiri melaporkan Lili Pintauli Siregar ke Bareskrim Polri pada Rabu, 8 September 2021.
"Atas dugaan pelanggaran hukum Pasal 36 juncto Pasal 65 UU KPK. Yang menarik dalam putusan tersebut, ditemukan fakta bahwa Lili menjalin komunikasi dengan pihak lain yang sedang menjalani perkara di KPK. Dan itu bukan hanya melanggar kode etik, tapi juga melanggar hukum," tutur Peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Bareskrim Polri, Jakarta Selata.
Kurnia mengatakan, dalam UU KPK tersebut telah tercantum larangan bagi pimpinan KPK untuk mengadakan hubungan langsung maupun tidak langsung kepada pihak tersangka atau pihak lain yang sedang menjalani perkara di KPK.
"Karena pelanggaran hukum Pasal 36 juncto Pasal 65 UU KPK, bisa dilaporkan oleh siapa saja. Dan kami tidak melihat niat Dewas untuk menindaklanjuti fakta-fakta yang terungkap di dalam Dewas," jelas dia soal kasus Lili Pintauli.
Kurnia berharap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dapat mencermati dan menindaklanjuti laporan tersebut. Sebab berdasarkan fakta persidangan Dewas KPK, disebutkan secara eksplisit Lili Pintauli berkomunikasi dengan mantan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.
"Apalagi perbincangan itu terkait dengan perkara. Makanya tidak ada alasan sebenarnya bagi Bareskrim Polri untuk tidak meneruskan atau mengeluarkan dalih argumentasi yang tidak masuk akal. Karena UU-nya sudah ada, tinggal dijalankan saja oleh penegak hukum, dalam hal ini Bareskrim Polri," Kurnia menandaskan.
Kasus Lili Akan Menyandera KPK
Tak hanya kalangan internal, organisasi di luar KPK juga menaruh perhatian terhadap sikap Lili yang tetap merasa tak bersalah meski sudah diputus Dewas KPK. Tak heran banyak yang meminta dirinya menanggalkan posisi sebagai pimpinan KPK. Di antaranya Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) yang mendesak Lili segera mengundurkan diri.
Alasannya, Lili telah dijatuhi hukuman berat oleh Dewas KPK karena terbukti melanggar kode etik lantaran berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani oleh KPK.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman memberi batas waktu hingga November 2021 agar Lili Pintauli mengundurkan diri. Jika tidak, Boyamin mengancam akan melaporkan ke Kejaksaan Agung.
"Terkait dengan Bu Lili Pintauli saya masih memberikan kesempatan untuk mengundurkan diri kira-kira sampai November sajalah. Akan tetapi, kalau November belum mengundurkan diri, saya akan menempuh pelaporan juga ke Kejaksaan Agung," kata Boyamin Saiman di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (14/9/2021).
Ia mengatakan bahwa pelaporan ke Kejagung sebagaimana ketentuan dalam Pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan.
"Hal itu karena di dalam Pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan juga bisa menangani tindak pidana yang diatur undang-undang khusus. Nah, buktinya menangani korupsi bisa kan kejaksaan, khusus," ujar Boyamin.
Lili akan dilaporkan dengan sangkaan melanggar Pasal 36 juncto Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Kalau tidak ditangani selama 3 bulan, saya akan gugat praperadilan, pasti begitu," katanya.
Adapun Pasal 36 Ayat (1) UU KPK menyebutkan bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun.
Dalam Pasal 65 disebutkan bahwa setiap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
MAKI sendiri menilai sanksi pemotongan gaji yang diberikan kepada Lili Pintauli belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. MAKI mengatakan seharusnya sanksi yang diberikan berupa pemecatan Lili Pintauli sebagai Pimpinan KPK.
"Putusan Dewas KPK dirasakan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat karena semestinya sanksinya adalah Permintaan Mengundurkan Diri, bahasa awamnya: pemecatan," ujar Boyamin.
Menurut dia, pengunduran diri Lili Pintauli merupakan cara menjaga kehormatan KPK. Boyamin menyebut pengunduran diri Lili dari Pimpinan KPK demi kebaikan KPK dan pemberantasan korupsi.
"Jika tidak mundur maka cacat/noda akibat perbuatannya yang akan selalu menyandera KPK sehingga akan kesulitan melakukan pemberantasan Korupsi," katanya.
Advertisement
Sanksi Berat untuk Lili
Ketua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean menyatakan bahwa Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar telah melanggar kode etik pimpinan KPK. Lili diberikan sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok 40 persen selama 12 bulan.
"Menghukum terperiksa dengan sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan demikian diputuskan dalam permusyawaratan majelis," jelas Tumpak saat membaca putusan yang disiarkan secara virtual, Senin (30/8/2021).
Menurut dia, Lili terbukti bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku berupa penyalahgunaan pengaruh pimpinan KPK untuk kepentingan pribadinya. Selain itu, Lili dinyatakan bersalah karena berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 2 huruf b dan a. Kemudian, Peraturan Dewas Nomor 02 tahun 2020 tentang penegakan kode etik dan pedoman perilaku KPK.
Adapun Lili sebelumnya dilaporkan ke Dewas karena diduga berkomunikasi dengan Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M Syahrial terkait penyelidikan kasus dugaan jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai, Sumatera Utara.
Anggota Dewas KPK Albertina Ho mengatakan ada beberapa hal yang meringankan hukuman Lili. Salah satunya, Lili belum pernah dijatuhi sanksi etik.
"Hal-hal yang meringankan terperiksa mengakui perbuatannya dan terperiksa belum pernah dijatuhi sanksi etik," ujar Albertina.
Sementara itu, hal-hal yang memberatkan hukuman Lili yaitu, tidak memberikan contoh yang baik sebagai Pimpinan KPK. Dewas juga melihat bahwa Lili tak menunjukkan penyesalan usai melanggar kode etik.
"Hal-hal yang memberatkan terperiksa tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya, terperiksa selaku pimpinan KPK seharusnya menjadi contoh dan teladan dalam pelaksanaan IS KPK (Integritas, Sinergi, Keadilan, Profeisonalisme, dan Kepemimpinan). Namun terperiksa melakukan sebaliknya," tutur Albertina.
Sebelumnya, Lili dilaporkan ke Dewas oleh pegawai nonaktif KPK. Antara lain yakni mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujanarko serta dua penyidik KPK, Novel Baswedan dan Rizka Anungnata.
Lili diduga berkomunikasi dengan Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M Syahrial terkait penyelidikan kasus dugaan jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai, Sumatera Utara.
Komunikasi antara Lili dan Syahrial diungkap oleh mantan Penyidik KPK asal Polri, Stepanus Robin Pattuju. Robin yang dijerat sebagai tersangka penerima suap dari Syahrial ini mengungkapnya saat bersaksi dalam sidang Syahrial di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan, Senin 26 Juli 2021.