Liputan6.com, Jakarta Komisi Yudisial (KY) membuka kemungkinan memeriksa hakim Mahkamah Agung (MA) yang memutus perkara Nomor 23 P/HUM/2024 soal perubahan batas usia calon kepala daerah.
Pemeriksaan akan dilakukan apabila ada indikasi pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPH) dalam memutus perkara tersebut.
"KY selalu menangani setiap kasus sesuai prosedur. Jika di indikasi, saksi atau bukti ada pelanggaran KEEPH, bisa saja KY memeriksa hakim," kata Anggota sekaligus Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata saat dihubungi, Sabtu (1/6/2024).
Advertisement
Fajar mempersilahkan publik melapor kepada KY apabila ada dugaan pelanggaran kode etik hakim dalam putusan batas usia calon kepala darerah. Namun, dia meminta agar laporan tersebut disertai dengan bukti pendukung sehingga dapat ditindaklanjuti oleh KY sesuai prosedur.
"KY kembali menegaskan bahwa KY hanya fokus pada aspek dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim," jelasnya.
Fajar memastikan KY menaruh perhatian khusus atas putusan yang menuai kritik dari sejumlah pihak. KY menyadari putusan inidapat menentukan Pilkada yang jujur dan adil.
"Semestinya hakim perlu menjaga rasa keadilan masyarakat sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap putusan tersebut, serta pelaksanaan demokrasi yang lebih baik," tutur Fajar.
Sebelumnya, Putusan Mahkamah Agung soal batas usia calon kepala daerah menjadi polemik lantaran dinilai terlalu cepat. Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Yudisial Sunarto mengatakan bahwa lembaganya memang bisa menyelesaikan perkara secara cepat.
"Bisa saja. Sekarang penyelesaian perkara sangat cepat di sini," kata Sunarto saat ditemui usai menghadiri Peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung MA, Jakarta, Sabtu, (1/6/2024).
MA Merasa Heran
Putusan MA ini pun menjadi polemik lantaran dinilai bertujuan meloloskan putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep agar bisa ikut Pilkada 2024.
"Repotnya, lambat dilaporin, cepat dilaporin. Jadi, repot," tambahnya seperti dikutip dari Antara.
Walaupun demikian, ia menegaskan bahwa lembaganya berkomitmen untuk selalu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang mencari keadilan.
"Sehingga, kami akan, ya, asas peradilannya akan cepat, sederhana, dengan biaya ringan. Jadi, kalau cepat, menurut saya, ya, sesuai dengan asas peradilan," ujarnya.
Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai ada kejanggalan dalam putusan MA Nomor 23 tersebut. Menurutnya, PKPU yang diuji telah sesuai dengan Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.
"PKPU itu dibatalkan kalaulah tidak berdasarkan undang-undang," tegas dia kepada Liputan6.com, Jumat (31/5/2024).
Ia menjelaskan, kalau Undang-Undang Dasar sudah eksplisit mengaturnya, tidak ada alasan lain apa pun bagi Mahkamah Agung untuk menafsir ulang isi teks yang sudah ada di undang-undang dasar tersebut.
Advertisement
Ada Kejanggalan
"Jadi memang sangat-sangat janggal perkara pengujian PKPU yang dilakukan Mahkamah Agung," ucap dia.
Feri pun menduga praktik ini dilakukan sebagai karpet merah bagi putra Jokowi, Kaesang Pangarep untuk mengikuti kontestasi Pilkada Jakarta. Suami dari Erina Gudono ini lahir pada 25 Desember 1994 atau baru akan berusia 30 tahun pada Desember mendatang, dan Pilkada digelar pada 27 November 2004. Apabila Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 tahun 2020 masih diberlakukan, Ketua Umum PSI itu tidak dapat mendaftarkan diri sebagai gubernur atau calon wakil gubernur.
"Siapa yang disasar agar kemudian dengan pembatalan ini seseorang dapat diuntungkan, desas-desusnya adalah Kaesang yang belum berumur usia 30 dan perlu kemudian mendapatkan kesempatan untuk maju di dalam kontestasi Pilkada. Hal-hal begini menurut saya akan menjadi problematika serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kalaulah kemudian seluruh aturan mengenai praktik bernegara didasarkan kepada kesukaan seseorang terhadap sesuatu atau tidak," terang Feri.
Ia menilai, putusan ini bukan lantaran didasarkan pada ketidakpahaman para hakim Mahkamah Agung. Melainkan sebagai sebuah kesengajaan dalam rangka mengulang kisah romantik yang terjadi di Mahkamah Konstitusi.
"Di mana anak raja dapat melabrak undang-undang sehingga kemudian seluruh hal bisa diabaikan dan kemudian proses pemilu presiden berlangsung seperti yang diharapkan di sana. Dan kali ini, itu terjadi lagi. Hanya saja hemat saya, kalaupun ini politis, kenapa tidak dilakukan jauh-jauh hari. Kenapa menjelang pertandingan lagi, seolah-olah tidak berhenti-hentinya menyiksa perasaan politik publik di tengah deru kekacauan peraturan-peraturan lainnya," dia menandaskan.