Mahkamah Agung (MA) menyatakan belum memberikan bantuan advokasi terhadap staf Diklat Djodi Supratman yang ditangkap penyidik KPK, Kamis 25 Juni kemarin. Hal itu menyusul belum diketahuinya secara pasti apa keterlibatan Djodi dalam penerimaan uang sebesar Rp 80 juta.
"Sementara belum ada pendampingan hukum. Ya kami lihat dulu bagaimana keterlibatan dia," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di Kantor MA, Jakarta, Jumat (26/7/2013).
Ridwan menjelaskan, lembaganya tidak proaktif mencari tahu keterlibatan Djodi, karena itu prosedur yang berlaku di instansinya apabila ada pegawai MA yang terlibat kasus. "Kami kan belum tahu apa (uang Rp 80 juta) itu kaitan dengan perkara tidak. Kami tidak mau mencampuri apa yang dikerjakan KPK. Kami hargai itu," tegasnya.
Diduga, penangkapan PNS golongan IIIC itu berkaitan dengan kasus di pengadilan. Namun, Ridwan memaparkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Djodi tidak berkaitan dengan persidangan. "Dia bekerja di bagian pengiriman surat, persiapan-persiapan Diklat pegawai, dia admininstrasi dan tidak berkaitan dengan perkara," imbuhnya.
KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Djodi dan Mario Carlo Bernardo secara terpisah. Mulanya Djodi mendatangi Mario yang juga keponakan advokat Hotma Sitompoel itu di kantornya, Hotma Sitompoel & Associates di Jalan Martapura III, Tanah Abang, Jakarta Pusat, sekitar pukul 11.30 WIB.
Tidak lama, PNS golongan IIIC itu keluar dan pergi menumpang ojek motor. Penyidik KPK pun mengikuti dan menangkapnya saat berada di sekitar Monas, pukul 12.15 WIB.
Dari penangkapan itu, KPK mendapati uang sekitar Rp 80 juta yang disimpan dalam tas coklat, yang diduga baru diterimanya dari Mario, pengacara yang juga keponakan advokat Hotma Sitompoel. Kemudian, KPK langsung menangkap Mario pukul 13.20 WIB.
Sementara itu, Hotma mengatakan bahwa firma hukumnya tidak menangani kasus yang berkaitan dengan MA. Bahkan, ia membantah penangkapan kemenakannya tersebut terkait perkara kasus simulator SIM Djoko Susilo. (Mut/Ism)
"Sementara belum ada pendampingan hukum. Ya kami lihat dulu bagaimana keterlibatan dia," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di Kantor MA, Jakarta, Jumat (26/7/2013).
Ridwan menjelaskan, lembaganya tidak proaktif mencari tahu keterlibatan Djodi, karena itu prosedur yang berlaku di instansinya apabila ada pegawai MA yang terlibat kasus. "Kami kan belum tahu apa (uang Rp 80 juta) itu kaitan dengan perkara tidak. Kami tidak mau mencampuri apa yang dikerjakan KPK. Kami hargai itu," tegasnya.
Diduga, penangkapan PNS golongan IIIC itu berkaitan dengan kasus di pengadilan. Namun, Ridwan memaparkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Djodi tidak berkaitan dengan persidangan. "Dia bekerja di bagian pengiriman surat, persiapan-persiapan Diklat pegawai, dia admininstrasi dan tidak berkaitan dengan perkara," imbuhnya.
KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Djodi dan Mario Carlo Bernardo secara terpisah. Mulanya Djodi mendatangi Mario yang juga keponakan advokat Hotma Sitompoel itu di kantornya, Hotma Sitompoel & Associates di Jalan Martapura III, Tanah Abang, Jakarta Pusat, sekitar pukul 11.30 WIB.
Tidak lama, PNS golongan IIIC itu keluar dan pergi menumpang ojek motor. Penyidik KPK pun mengikuti dan menangkapnya saat berada di sekitar Monas, pukul 12.15 WIB.
Dari penangkapan itu, KPK mendapati uang sekitar Rp 80 juta yang disimpan dalam tas coklat, yang diduga baru diterimanya dari Mario, pengacara yang juga keponakan advokat Hotma Sitompoel. Kemudian, KPK langsung menangkap Mario pukul 13.20 WIB.
Sementara itu, Hotma mengatakan bahwa firma hukumnya tidak menangani kasus yang berkaitan dengan MA. Bahkan, ia membantah penangkapan kemenakannya tersebut terkait perkara kasus simulator SIM Djoko Susilo. (Mut/Ism)