Presiden Prabowo Diminta Optimalkan Perkebunan Sawit di Indonesia Dari Pada Perluasan

Presiden Prabowo Subianto diminta mengoptimalkan luasan perkebunan sawit yang ada dari pada menambah jumlah luasan yang ada.

oleh M Syukur diperbarui 09 Jan 2025, 11:00 WIB
Diterbitkan 09 Jan 2025, 11:00 WIB
Aktivitas penyuluhan di kebun sawit di Riau
Aktivitas penyuluhan di kebun sawit di Riau. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Kebijakan Presiden Prabowo Subianto menambah luasan perkebunan kelapa sawit mendapat sorotan dari Wartawan Sawit Nusantara (WSN). Ketua Partai Gerindra itu diminta mengoptimalkan kebun yang ada karena lebih dari cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri ataupun ekspor.

Ketua Umum WSN Abdul Aziz mengatakan, berdasarkan data terbaru Kementerian Pertanian ada sekitar 17,3 juta hektare kebun kelapa sawit di 31 provinsi. Angka ini melonjak dari 16,83 juta hektare pada 2022.

Menurut Aziz, luasan itu hanya bisa menghasilkan sekitar 45 juta ton Crude Palm Oil (CPO) setahun. Jika diasumsikan rendemen rata-rata Tandan Buah Segar (TBS) sawit adalah 206 per kilogram, produksinya hanya sekitar 225 juta ton per tahun.

"Kalau produksi ini dibagi dengan luasan, kita ambil saja luasannya 16,83 juta hektar, berarti produksi TBS kita per hektar per tahunnya, hanya sekitar 13,4 ton, sama saja dengan sekitar 1,1 ton per hektar per bulan, ini sangat kecil," kata Aziz, Rabu petang, 8 Januari 2024.

Mestinya, urai lelaki 49 tahun ini, produksi TBS per hektare itu bisa di angka 3-4 ton per hektar per bulan. Ini kelihatan dari bukti-bukti yang di dapat oleh WSN di beberapa daerah di Indonesia seperti Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara. 

"Kami mendapati di daerah-daerah ini, kebun kelapa sawit hasil Program Peremajaan Sawit Rakyat (P-PSR), produksi per hektar per bulannya telah mencapai angka segitu dan bahkan ada yang mencapai 5-6 ton per hektare per bulan, ini berarti bila dikelola dengan baik, hasilnya juga akan bagus kan?" katanya. 

Kalau kemudian produksi TBS telah mencapai 3 ton per hektar per bulan, kata Aziz, berarti produksi CPO nasional sudah 3 kali lipat dari produksi saat ini menjadi 135 juta ton per tahun. 

"CPO sebanyak ini saya pastikan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor, termasuklah itu untuk kebutuhan bauran biodiesel B50 yang membutuhkan CPO sekitar 15 juta ton per tahun," bebernya. 

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Peremajaan Sawit

Merujuk pada Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2019, mestinya produksi TBS nasional sudah melonjak tajam. 

Saat itu, Kementerian Pertanian telah pula mengeluarkan data bahwa ada sekitar 2,7 juta hektar kebun kelapa sawit rakyat yang harus diremajakan. Angka ini belum termasuk luasan lahan sawit perusahaan yang juga akan menjalani peremajaan. 

Hanya saja, apa yang terjadi dengan lahan yang 2,7 juta hektar itu? Dari 2017-2024, ternyata kebun sawit yang telah menjalani peremajaan, hanya 334.834 hektar sehingga masih ada lebih dari 2,3 juta hektar lagi kebun sawit rakyat yang harus diremajakan. 

"Kok bisa luasan peremajaan hanya segitu? Mestinya ini dulu lah yang diberesi oleh Presiden Prabowo," pinta Aziz. 

Dengan 2,3 juta hektar itu saja rampung diremajakan, lanjut Aziz, 4 tahun kemudian produksi TBS dari lahan seluas itu sudah mencapai 82,8 juta ton dalam setahun. Angka ini setara dengan 16,56 juta ton CPO dalam setahun bila rendemen rata-ratanya hanya 2056. 

"Sudah berapa banyak keluarga petani yang sejahtera bila peremajaan itu segera dilakukan dan kemudian kebunnya dirawat dengan baik,"ujar Aziz.

Persoalan Sawit

Lantas, kenapa peremajaan sawit rakyat itu teramat sulit dituntaskan? Menurut Aziz, itu terjadi lantaran banyaknya persoalan di industri kelapa sawit, khususnya pada petani sawit.

Persoalan pertama, menurut Aziz, selama ini petani sangat sulit mengakses pupuk dan kelengkapan lainnya demi merawat kebun untuk meningkatkan produksi. Petani sawit tidak boleh mengakses pupuk bersubsidi. 

Persoalan kedua, sulitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh petani sawit untuk bisa ikut program peremajaan sawit rakyat. Selain harus melengkapi legalitas, juga harus mendapatkan lampu hijau dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kehutanan terkait tidak tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) dan tidak berada di kawasan hutan. 

"Syarat-syarat semacam ini merepotkan petani yang secara logika saja, telah mengelola lahannya lebih dari 25 tahun. Biasanya kan lahan yang akan diremajakan itu kebun yang berumur lebih dari 25 tahun. Kalau selama 25 tahun enggak ada persoalan, kenapa kemudian dipersoalkan," katanya. 

Lalu persoalan berikutnya, petani sawit sulit mengakses penyuluh perkebunan kelapa sawit. Sebab selama ini penyuluh yang ada hanya penyuluh sektor pertanian tanaman pangan. 

"Ada juga petani ini yang tidak bisa ikut PSR lantaran kebunnya diklaim dalam kawasan hutan. Data yang kami dapatkan, lebih dari 1,5 juta hektar kebun sawit rakyat diklaim dalam kawasan hutan," ujar Aziz. 

Terkait klaim kawasan hutan ini, WSN juga meminta agar Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni tidak gegabah membuat pernyataan menyediakan 20 juta hektar hutan untuk mendukung pangan dan energi. 

"Kami minta Pak Menteri jangan Asal Bapak Senang (ABS), beresi dulu pengukuhan kawasan hutan itu sesuai dengan pasal 14 dan 15 Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, jangan justru mengklaim lahan-lahan rakyat menjadi kawasan hutan," katanya.

"Yang kami temukan seperti itu, banyak kebun-kebun rakyat yang sudah dikuasai lebih dari 25 tahun diklaim menjadi kawasan hutan. Sementara sampai sekarang tidak jelas pengukuhan kawasan hutan di negara ini seperti apa," tambahnya.

Kalau memang Menteri Kehutanan mendukung keinginan Presiden Prabowo, Aziz meminta hak-hak masyarakat dari klaim kawasan hutan dilepaskan agar lahan-lahan itu bisa bernilai ekonomis mendukung usaha rakyat.

Di sisi lain, pihaknya berterimakasih Presiden Prabowo telah peduli dengan keberlanjutan perkebunan kelapa sawit Nasional. Namun bukan berarti harus menambah luasan perkebunan kelapa sawit.

"Kalau persoalan pada lahan yang sudah eksisting diberesi, saya yakin misi ketahanan pangan dan energi yang diusung Presiden Prabowo, akan tercapai sebelum masa jabatan lima tahun pertamanya usai, saya yakin itu," Aziz optimis. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya