Produksi Gas Pertama di Lapangan Bangka
Chevron Indonesia Company Ltd mengumumkan sumur pengembangan Lapangan Bangka yang dikelolanya telah mencapai produksi gas alam pertama. Lapangan tersebut merupakan tahap pertama dari Proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) Chevron di Kalimantan Timur.
Direktur Pelaksana Chevron IndoAsia Business Unit Chuck Taylor mengatakan, gas pertama proyek Bangka ini merupakan pencapaian penting dan perwujudan komitmen Chevron untuk terus mendukung pencapaian target energi pemerintah.
"Proyek ini menunjukkan komitmen Chevron untuk membawa kemampuan global dan teknologi terkini bagi Indonesia serta menerapkan praktik terbaik dan keahlian dari proyek-proyek pengembangan laut dalam kami di seluruh dunia," kata Taylor, dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Taylor mengungkapkan, proyek Bangka memiliki kapasitas terpasang sebesar 110 juta kaki kubik gas dan 4 ribu barel kondensat per hari.
Chevron memegang 62 persen saham kepemilikan di Proyek Bangka dengan mitra joint venture lainnya yaitu Eni dengan kepemilikan sebesar 20 persen dan Tip Top sebesar 18 persen.
Persetujuan pemerintah untuk keputusan final investasi atau Final Investment Decision (FID) dicapai pada 2014. Chevron memulai kegiatan pengeboran sumur pada semester II 2014.
"Selama lebih dari 90 tahun, Chevron telah menjadi mitra utama dalam memenuhi kebutuhan energi Indonesia, menggerakkan pertumbuhan ekonomi, dan mendukung pengembangan masyarakat di Kalimantan Timur dan wilayah operasi kami lainnya," ungkap Taylor.
Sebelumnya, Deputi Pengendalian Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Muliawan mengatakan, lapangan migas Bangka mulai beroperasi pada 17 Agustus 2016.
Muliawan melanjutkan, alokasi produksi gas dari lapangan migas yang menjadi salah satu proyek laut dalam (Indonesian Deepwater Development/IDD) masih didiskusikan. Namun akan dialokasikan untuk Bontang, Kalimantan Timur. "Masih dibicarakan. masih dibicarakan. Ke Kalimantan ya. ke Bontang kan ada industri juga," ujar Muliawan.
Pemilik Cadangan Minyak Terbesar di Indonesia
Sekretaris Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas bumi (SKK Migas) Gde Pradyana menyebut hanya PT Chevron Pacific Indonesia operator lapangan gas di Riau yang memiliki cadangan minyak terbesar di Indonesia. Produksi dari lapangan ini pun sudah mulai susut.
Gde mengatakan, cadangan minyak yang dimiliki Chevron mencapai 9 miliar barel, sedangkan masa puncak produksinya pada periode 1975 hingga 1977.
"Produksi minyak nasional dihasilkan Chevron di Riau dan mengalami puncak ketika minas di 75,76,77," kata Gde, dalam acara forum energi, di kawasan Kuningan, Jakarta, Selasa (18/2/2014).
Gde menambahkan, setalah lapangan migas tersebut belum ada lagi hasil cadangan besar yang ditemukan di Indonesia. Lapangan migas Cepu yang sangat diharapkan saja hanya memiliki cadangan 1 miliar barel.
"9 miliar barel cadangan Chevron dan sekarang tidak ketemu sebanyak itu. Cepu yang kita banggakan hanya 1 miliar barel," tutur Gde.
Namun, masa kejayaan Chevron tidak lama. Produksi minyaknya terus mengalami penurunan. Hal ini pun mempengaruhi produksi minyak Indonesia pada masa itu hingga saat ini.
"Lalu turun dan menyundul Duri. Tapi kini Duri turun juga. Makanya kalau Chevron turun maka produksi nasional turun," pungkas dia.
Wajib Kembalikan Pembangkit Listrik Blok Rokan ke Negara
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi, meminta kepada PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) untuk mengembalikan pembangkit listrik kepada Pemerintah Indonesia. Lantaran telah habis masa kontraknya.
Fahmi menjelaskan, mulai 9 Agustus 2021 PT Pertamina (Persero), melalui PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) secara resmi akan mengambil alih operasi Wilayah Kerja (WK) Blok Rokan. Produksi minyak Blok Rokan berkisar antara 170.000-200.000 barel per hari atau sekitar 25 persen produksi minyak nasional.
“Pengembalian WK Blok Rokan itu ternyata tidak secara menyeluruh, ada beberapa teknologi dan aset yang tidak sepenuhnya dikembalikan kepada bangsa ini, di antaranya teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) dan Pembangkit Listrik,” kata Fahmi tulisnya, Senin (8/2/2021).
Termasuk Chevron Pasifik Indonesia (CPI) masih belum bersedia memberikan satu formula dari empat formula EOR, yang selama ini digunakan dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak di Blok Rokan
Sedangkan pembangkit listrik Cogen masih dikelola oleh PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN), yang merupakan anak perusahaan CPI. Pembangkit Cogen memasok keperluan listrik dan uap di WK Rokan dengan kapasitas listrik 300 MW dan uap 3.140 MMBTU.
“PT MCTN, yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh Chevron Standar Limited (CSL), berkontrak dengan CPI untuk menyediakan listrik dan uap dengan mengoperasikan PLTG Cogen. Kontrak itu akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya kontrak CPI di Blok Rokan,” jelasnya.
Semua komponen biaya investasi dan biaya operasi PLTGU Cogen dibayar oleh CPI melalui pembayaran bulanan selama masa kontrak.
Namun, Pemerintah telah mengganti biaya investasi pembangunan Aset Cogen, biaya operasi dan pemeliharaan, dan nilai finansial dari pemegang saham selama masa kontrak yang diperhitungkan dalam skema Cost of Recovery (CoR).
“Dengan habisnya masa kontrak CPI di WK Rokan, PLTGU Cogen seharusnya dikembalikan kepada negara. Alasannya, biaya pembangunan (investment expenditures) dan biaya operasional (operational expenditures) pembangkit itu sudah sepenuhnya diganti oleh negara kepada CPI,” ujarnya.